“Orang
Toraja dan Budayanya”
“Toraja”, itulah sebutan yang
kerap dipakai untuk menyatukan dua kabupaten, Tana Toraja dan Toraja Utara yang
terletak di bagian Utara Sulawesi Selatan. Salah satu aset negara Indonesia
yang menyumbangkan devisa di
bidang kebudayaan dan pariwisata. Dua kabupaten yang awalnya satu
itu termasuk daerah yang kaya akan budaya dan aset pariwisata yang tak kalah
menariknya dengan daerah lainnya baik di kanca nasional maupun internasional. Budaya
Toraja yang ada berasal dari leluhur atau nenek moyang orang Toraja sendiri
yang kemudian diwariskan dan dilestarikan hingga saat ini. Meskipun kini telah
terbagi menjadi dua kabupaten, hal itu tak mempengaruhi minat wisatawan
domestik maupun mancanegara untuk menjelajahi bahkan mempelajari adat serta
budaya Toraja.
Toraja
pada umumnya memiliki budaya dan adat istiadat yang telah mendarah daging turun
temurun. Adat dan budayanya pun telah lama ada, jauh sebelum akhirnya dijadikan
sebagai objek wisata.
Bagi
sebagian orang Toraja, budaya yang merupakan aset daerah bahkan negara adalah
kebutuhan menyangkut keseluruhan aspek kehidupan. Berbagai budaya yang
bertebaran di Toraja kerap dijadikan kewajiban bahkan simbol pengabdian terhadap
leluhur. Tanpa disadari, budaya asli yang bertujuan untuk mencapai kepuasan
batin ini memiliki kesamaan dengan budaya Dongson. Hal itu dapat dikaitkan
dengan teori yang mengatakan bahwa nenek moyang orang Toraja berasal dari
daerah Yunan dan banyak pula kesamaan antara budaya Dongson dengan Toraja.
Namun
daerah yang terkenal dengan istilah “Tondok Lilina Lepongan Bulan Tana Matari
Allo” ini nyaris kehilangan budayanya karena falsafah budayanya yang hanya
dipahami oleh beberapa tokoh masyarakat saja. Lalu, apa yang menyebabkan budaya
Toraja bertahan hingga sekarang? Ini dapat dikarenakan Toraja sebelum dan
sesudah terbagi tidak pernah diperintah oleh seorang Raja (autonom di wilayah
adat masing-masing) sehingga timbul rasa saling menghargai.
Untuk
lebih dekat dengan Toraja dan budayanya, hal yang penting ialah mengungkap
keunikan tersendiri dari adat dan budaya daerah tersebut. Contoh kecilnya
terletak pada upacara Rambu Solo (upacara penguburan), yakni orang yang
meninggal tidak langsung dimakamkan melainkan disemayamkan di rumah keluarganya
sembari menunggu hasil musyawarah keluarga, apakah akan diupacarakan ataukah
sebaliknya. Di samping itu, hal ini juga bertujuan untuk menyelesaikan semua
perkara orang tersebut semasa hidupnya agar arwahnya tenang. Hal lainnya yaitu
sisa hasil usahanya sepeninggalnya akan disosialkan (dibagikan kepada
masyarakat dalam bentuk daging). Semua itu dilakukan agar keluarganya tidak
bergantung pada harta yang ia tinggalkan dan agar tidak melanggar falsafah
budaya.
Hal
yang dapat ditemukan pada budaya Toraja dan akan tetap berlangsung di masa-masa
yang akan datang ialah budayanya yang memerlukan perencanaan sebelum akhirnya
masuk pada tahap pelaksanaan. Perencanaan dilakukan dengan cara musyawarah
hingga memperoleh keputusan. Pada budayanya pula dapat ditemukan kebersamaan
dan kekeluargaan yang kental.
Seiring
perkembangan jaman, budaya Toraja juga mengalami modernisasi, namun selalu diupayakan
agar falsafah budayanya tidak berubah sehingga tidak tertutup kemungkinan
Toraja dan budayanya akan eksis di tahun 2030 bahkan tahun-tahun selanjutnya. Alasannya,
manusia tak bisa terlepas dari budaya. Maka saat manusia modern, budayapun akan
ikut modern. Hal yang tetap dibutuhkan ialah pendekatan antara kehidupan modern
dan tradisional sehingga dapat tercipta keseimbangan diantara kedua masa
tersebut.
Diperkirakan
masyarakat toraja dan semua aspek kehidupannya akan ikut modern sejalan dengan
zaman yang dihadapinya. Di mana budaya dapat menjadi motivasi dalam menjalani
kehidupannya. Namun terlepasnya budaya dari kehidupan masyarakatnya dapat saja
menjadi ancaman yang bisa melanda kapan saja. Perkembangan dan kemajuan suatu budaya juga bergantung kepada
generasi muda dan pendidikan di mana budaya tersebut berada.
Sebagaimana
diketahui, generasi mudalah yang memiliki budaya, dalam artian budaya di masa
yang akan datang berada di tangan generasi muda tempat hidupnya budaya tersebut
karena generasi mudalah yang memegang peranan penting dalam perjalanan suatu
budaya.
Pendidikan
juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan masyarakat dan budayanya. Budaya
Toraja sendiri mendukung bahkan menunjang pendidikan. Dan diyakini hal itu akan
tetap berlangsung kedepannya. Dalam konsep pendidikan yang diharuskan dan budaya yang tentu mutlak, hal itu dapat
dijadikan sebagai salah satu alasan bertahannya budaya Toraja. Jadi, untuk
menyatukan keduanya, pendidikan dan budaya harus sama-sama jalan untuk kemudian
saling menunjang. Sebagai salah satu sumber pemasukan, budaya Toraja tidak
hanya menyumbang pada bidang pendidikan saja, tetapi pada semua aspek kehidupan
bermasyarakat bahkan bernegara.
Faktor
lainnya yaitu situasi budayanya sendiri yang berpengaruh kepada para budayawan.
Karena saat kehidupan tidak memperlihatkan budaya tradisionalnya lagi, maka
akan berdampak pada budayawan yang akan mencari pegangan lain yang tidak
tradisionil dan melupakan budaya daerahnya. Jika keadaan seperti itu terjadi,
maka semakin berkuranglah jiwa-jiwa yang mengerti falsafah asli budaya daerah.
Namun hal berbeda ditemukan pada budaya Toraja, yakni budayanya telah menyatu
dengan kehidupan masyarakatnya. Situasi budaya yang cenderung maju bahkan
kadang terbilang ‘gila’ menjadi sumber kepuasan batin tersendiri bagi
masyarakatnya. Untuk mencapai ketenangan batin semuanya kembali bergantung pada
manusianya.
Spesifik
ke arah manusianya sendiri, orang Toraja dari zaman dahulu kala terkenal dengan
rasa kebersamaan dan kekeluargaan yang tinggi, solidaritas yang kuat serta
keramahannya. Diyakini seiring dengan perkembangan budayanya, di tahun 2030
orang Toraja akan tetap mengikuti arus globalisasi untuk tetap modern dan eksis
di zaman yang dijalaninya.
Untuk
daerahnya, dengan persentase 30% Toraja akan menjadi kota yang besar dan
modern, sedangkan 70% diperkirakan Toraja akan menjadi kota pariwisata yang
besar.
Di
tahun-tahun mendatang, budaya Toraja tidak lagi bergantung dan berdasar pada
keturunan/kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat pendidikan dan kemapanan
ekonomi.
Mempertahankan
suatu budaya adalah hal yang sulit. Kuncinya adalah falsafah budaya yang harus
dipahami dan dihayati. Karena saat generasi muda tidak memahami falsafah budaya
daerah tempat ia tumbuh dan berkembang, itu justru akan menyebabkan terjadinya
konflik.
Tak
dapat dipungkiri jika nantinya akan ada perubahan pada setiap prosesi budayanya
akibat globalisasi. Yang penting dalam menjaga keutuhan suatu budaya ialah
kesadaran dan kecintaan terhadap budaya itu serta menjadikannya sebagai
kebutuhan, maka dengan sendirinya budaya itu akan tetap bertahan.
Selain
itu, yang dapat dijadikan perisai adalah generasi muda yang berdedikasi dan
peduli kepada tradisi serta budaya daerahnya baik secara fisik maupun nonfisik.
Diperlukan pula jiwa-jiwa yang berdedikasi dalam pengembangan tradisi dan
budaya serta mampu menciptakan kreasi baru yang dapat dinikmati kalangan luas.
Budaya
Toraja sudah terbilang ‘oke’ dalam hal promosi, langkah selanjutnya tinggallah
pembenahan dari dalam untuk memastikan budaya dan daerahnya akan terus eksis.
Jika
kita menginginkan budaya Toraja tetap eksis dalam berbagai situasi maka kita
harus menghidupkan dan memasyarakatkan kembali tradisi dan budaya tersebut. Di
samping untuk memenuhi dan mencapai kepuasan batin, budaya Toraja dapat pula
dijadikan sebagai mata pencaharian alternatif dengan memanfaatkan warisan
budaya tanpa membahayakan kelestariannya.
Apresiasi
adalah jalan untuk mempercepat pengenalan terhadap budaya. Semakin dekat kita
mengenal budaya sendiri, semakin kecil pula kemungkinan kita mengenal istilah
budaya yang punah atau hampir punah di masa-masa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar