It's me

Dynamic Blinkie Text Generator at TextSpace.net

Selasa, 15 Mei 2012

^kumpulan puisiqu^


Rasa yang Hilang
Telah lama aku bersamamu
Tapi rasa itu...
Aku ‘tak tahu...
Mengapa aku ‘tak menemukannya kala bersamamu...
Aku sendiri ‘tak mengerti
Apa yang membuat rasa itu terlalu sukar untuk ada di antara kita...
Sepenuh hati telah ku coba
Mencoba untuk menumbuhkan rasa itu
Mencoba membuatmu bahagia
Dan mencoba membalas rasamu...
Tapi entah mengapa
Semua itu terlalu sulit bagiku...
‘tak segampang yang aku kira...
‘ku coba menerima cintamu,
Mencoba dan terus mencoba...
Tapi aku ‘tak bisa...
‘tak pernah bisa...
‘tak bisa mencintaimu layaknya kau mencintaiku...
Aku ‘tak pernah bermaksud melukaimu
Membuatmu merasakan duka yang mendalam
Keadaan ini membuatku terpuruk...
Aku bingung...
Aku ‘tak tahu...
Sebenarnya apa yang ku rasakan...
Hatiku tawar...
Kadang aku bermaksud ‘tuk akhiri saja
Tapi aku takut...
Takut membuatmu kecewa dan sakit hati...
‘ku putuskan untuk terus bersamamu
Meski kadang aku hampa
Merasa ‘tak sanggup bertahan untukmu
Tapi biarlah...
Biarlah aku yang berkorban...
















AKU DAN HIDUPKU
Aku selalu mencoba bertahan
Melewati hari yang begitu sukar
Yang begitu perih dan menyakitkan
                Aku selalu merasa
                Hidupku bukan untuk menikmati kesenangan
                Tapi
                Untuk menjalani semua masalah yang ada
                Semua masalah yang Tuhan siapkan untukku dan hidupku
                Masalah yang tak pernah habis
Bagaikan hujan batu yang menerjang hidupku
Selalu terbesit di benakku
Kapan semua ini akan berakhir
Telah terkuras habis tenagaku, kesabaranku, bahkan air mataku
Untuk jalani hidup ini
Beban ini terlalu berat
Di luar kemampuanku
                Kadang aku juga bermaksud untuk mengakhiri hidupku yang kelam ini
                Aku berpikir bahwa saat detak jantungku berhenti
                Semua masalah itu akan sirna
                Namun nyaliku terlalu kecil untuk melakukannya
Melanjutkan hidup adalah jalan terbaik
Aku selalu mencoba untuk tidak menjadi pengecut yang lari dari masalah
Aku harus berjuang untuk terus hidup
Berjuang untuk bisa kembali tersenyum
Dan berjuang menjadi yang terbaik di antara yang baik……..        



“TANDA TANYA”
Baru kemarin aku rasakan
Mimpi yang indah, sangat indah….
Tapi hari ini,
Hari dimana aku harus menerima kenyataan yang pahit
Kenyataan dimana mimpi itu tidak menjadi nyata
Dimana aku harus kembali menelan kepahitan karena cintaku yang tak terbalas
Harapan indah yang menjadi kesakitan dan penderitaan
Menjadikan aku termenung kembali dalam kesendirian bertemankan kesepian

Aku tak dapat mempercayai mimpiku tak menjadi nyata
Aku tak bisa….
Takkan pernah bisa….
Terlalu sulit menerima kenyataan itu….
Hatiku terlalu sakit karena mimpi itu

Mimpi itu tentang cinta….
Tentang cerita cintaku yang akan indah bersamanya
Sangat indah….

Tapi perlahan berubah menjadi mimpi buruk
Kenapa???????????
DIA TAK DAPAT MENCINTAIKU
DIA TAK DAPAT MENCINTAIKU
DIA TAK DAPAT MENCINTAIKU
TAK DAPAT….
Kalimat itu seolah mengantarku pada kegelapan
Kenapa dia tak dapat mencintaiku???
Kenapa???
Terlalu burukkah aku untuknya???

Kenapa harus aku yang merasakan kesakitan ini
Kenapa kenyataan memaksaku harus bisa menerima semua ini
Kenapa???

Kenapa semua diam???
Mengapa tak ada yang menjawabku

Adakah dia tahu,
Bahwa aku tak bisa menerima semua ini???
Jawabannya,
DIA TAK TAHU
Dia tak tahu dan DIA TAK AKAN PERNAH TAHU

Mengapa aku hanya dapat merasakan kesakitan???
Mengapa aku tak di ijinkan sejenak menikmati kebahagiaan???
Apa aku hidup hanya untuk disakiti???
Lalu untuk apa aku hidup???

DIA….
Terlalu sulit untuk aku benci
Terlalu sulit untuk aku lupakan
Dan
Terlalu sakit untuk aku kenang kembali….

Kenapa dia membiarkan aku berharap
Kalau akhirnya akan seperti ini???

Dia membunuhku secara perlahan
Dia membuatku seperti ini
Karena Dia….
Karena cintanya….













“MALAM”
Saat malam menjemputku…
Untuk kemudian mengantarku pada kegelapan
Kegelapan yang memberiku kesempatan
Kesempatan untuk kembali merenung…
Kembali meratapi nasib…
Dan kembali menghitung seberapa banyak kepedihan yang telah aku alami…

Aku tak pernah tahu
Mengapa dalam setiap kisah harus ada kepedihan…

Air mataku menumpah saat malam tiba…
Selalu menumpah dan terus menumpah…

Setiap kisah yang aku alami tak pernah berpihak kepadaku…

Kebahagiaan selalu berpihak pada mereka yang menyakitiku…

Aku tak mengerti…
Tak pernah mengerti…

Dia yang aku cinta telah memilih untuk bersama orang lain…
Dia yang aku cinta memintaku terus bersabar…bersabar…dan terus bersabar…
Tapi aku tak pernah tahu mengapa ia memintaku untuk terus bersabar

Aku bersabar untuk menanti waktu yang telah ditakdirkan kepadaku…
Waktu untuk kembali kecewa dan tersakiti…

Tak ada yang dapat memahamiku…
Tak ada…
Takkan pernah ada…

Aku selalu berharap…
Berharap kematian mengenal sistem barter…
Agar aku bisa menukar bahkan memberikan sisa hidupku bagi orang-orang yang membutuhkan…
Bagi orang yang ingin melawan takdir namun tak bisa…

Aku selalu berusaha menjadi orang baik
Tapi terlalu sulit…
Semakin aku mencoba, semakin aku tersakiti…
Lalu apa yang harus aku lakukan agar bisa menjadi bagian dari mereka yang bahagia…
Apa….

Aku benci kediaman…
Kediaman membuatku tak menemukan jawaban…

Aku ingin bahagia…
Sangat ingin bahagia……..

Jumat, 11 Mei 2012

artikel kebudayaan toraja


“Orang Toraja dan Budayanya”

“Toraja”, itulah sebutan yang kerap dipakai untuk menyatukan dua kabupaten, Tana Toraja dan Toraja Utara yang terletak di bagian Utara Sulawesi Selatan. Salah satu aset negara Indonesia yang menyumbangkan devisa di bidang kebudayaan dan pariwisata. Dua kabupaten yang awalnya satu itu termasuk daerah yang kaya akan budaya dan aset pariwisata yang tak kalah menariknya dengan daerah lainnya baik di kanca nasional maupun internasional. Budaya Toraja yang ada berasal dari leluhur atau nenek moyang orang Toraja sendiri yang kemudian diwariskan dan dilestarikan hingga saat ini. Meskipun kini telah terbagi menjadi dua kabupaten, hal itu tak mempengaruhi minat wisatawan domestik maupun mancanegara untuk menjelajahi bahkan mempelajari adat serta budaya Toraja.
            Toraja pada umumnya memiliki budaya dan adat istiadat yang telah mendarah daging turun temurun. Adat dan budayanya pun telah lama ada, jauh sebelum akhirnya dijadikan sebagai objek wisata.
            Bagi sebagian orang Toraja, budaya yang merupakan aset daerah bahkan negara adalah kebutuhan menyangkut keseluruhan aspek kehidupan. Berbagai budaya yang bertebaran di Toraja kerap dijadikan kewajiban bahkan simbol pengabdian terhadap leluhur. Tanpa disadari, budaya asli yang bertujuan untuk mencapai kepuasan batin ini memiliki kesamaan dengan budaya Dongson. Hal itu dapat dikaitkan dengan teori yang mengatakan bahwa nenek moyang orang Toraja berasal dari daerah Yunan dan banyak pula kesamaan antara budaya Dongson dengan Toraja.
            Namun daerah yang terkenal dengan istilah “Tondok Lilina Lepongan Bulan Tana Matari Allo” ini nyaris kehilangan budayanya karena falsafah budayanya yang hanya dipahami oleh beberapa tokoh masyarakat saja. Lalu, apa yang menyebabkan budaya Toraja bertahan hingga sekarang? Ini dapat dikarenakan Toraja sebelum dan sesudah terbagi tidak pernah diperintah oleh seorang Raja (autonom di wilayah adat masing-masing) sehingga timbul rasa saling menghargai.
            Untuk lebih dekat dengan Toraja dan budayanya, hal yang penting ialah mengungkap keunikan tersendiri dari adat dan budaya daerah tersebut. Contoh kecilnya terletak pada upacara Rambu Solo (upacara penguburan), yakni orang yang meninggal tidak langsung dimakamkan melainkan disemayamkan di rumah keluarganya sembari menunggu hasil musyawarah keluarga, apakah akan diupacarakan ataukah sebaliknya. Di samping itu, hal ini juga bertujuan untuk menyelesaikan semua perkara orang tersebut semasa hidupnya agar arwahnya tenang. Hal lainnya yaitu sisa hasil usahanya sepeninggalnya akan disosialkan (dibagikan kepada masyarakat dalam bentuk daging). Semua itu dilakukan agar keluarganya tidak bergantung pada harta yang ia tinggalkan dan agar tidak melanggar falsafah budaya.
            Hal yang dapat ditemukan pada budaya Toraja dan akan tetap berlangsung di masa-masa yang akan datang ialah budayanya yang memerlukan perencanaan sebelum akhirnya masuk pada tahap pelaksanaan. Perencanaan dilakukan dengan cara musyawarah hingga memperoleh keputusan. Pada budayanya pula dapat ditemukan kebersamaan dan kekeluargaan yang kental.
            Seiring perkembangan jaman, budaya Toraja juga mengalami modernisasi, namun selalu diupayakan agar falsafah budayanya tidak berubah sehingga tidak tertutup kemungkinan Toraja dan budayanya akan eksis di tahun 2030 bahkan tahun-tahun selanjutnya. Alasannya, manusia tak bisa terlepas dari budaya. Maka saat manusia modern, budayapun akan ikut modern. Hal yang tetap dibutuhkan ialah pendekatan antara kehidupan modern dan tradisional sehingga dapat tercipta keseimbangan diantara kedua masa tersebut.
            Diperkirakan masyarakat toraja dan semua aspek kehidupannya akan ikut modern sejalan dengan zaman yang dihadapinya. Di mana budaya dapat menjadi motivasi dalam menjalani kehidupannya. Namun terlepasnya budaya dari kehidupan masyarakatnya dapat saja menjadi ancaman yang bisa melanda kapan saja.  Perkembangan dan kemajuan suatu budaya juga bergantung kepada generasi muda dan pendidikan di mana budaya tersebut berada.
            Sebagaimana diketahui, generasi mudalah yang memiliki budaya, dalam artian budaya di masa yang akan datang berada di tangan generasi muda tempat hidupnya budaya tersebut karena generasi mudalah yang memegang peranan penting dalam perjalanan suatu budaya.
            Pendidikan juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan masyarakat dan budayanya. Budaya Toraja sendiri mendukung bahkan menunjang pendidikan. Dan diyakini hal itu akan tetap berlangsung kedepannya. Dalam konsep pendidikan yang diharuskan dan  budaya yang tentu mutlak, hal itu dapat dijadikan sebagai salah satu alasan bertahannya budaya Toraja. Jadi, untuk menyatukan keduanya, pendidikan dan budaya harus sama-sama jalan untuk kemudian saling menunjang. Sebagai salah satu sumber pemasukan, budaya Toraja tidak hanya menyumbang pada bidang pendidikan saja, tetapi pada semua aspek kehidupan bermasyarakat bahkan bernegara.
            Faktor lainnya yaitu situasi budayanya sendiri yang berpengaruh kepada para budayawan. Karena saat kehidupan tidak memperlihatkan budaya tradisionalnya lagi, maka akan berdampak pada budayawan yang akan mencari pegangan lain yang tidak tradisionil dan melupakan budaya daerahnya. Jika keadaan seperti itu terjadi, maka semakin berkuranglah jiwa-jiwa yang mengerti falsafah asli budaya daerah. Namun hal berbeda ditemukan pada budaya Toraja, yakni budayanya telah menyatu dengan kehidupan masyarakatnya. Situasi budaya yang cenderung maju bahkan kadang terbilang ‘gila’ menjadi sumber kepuasan batin tersendiri bagi masyarakatnya. Untuk mencapai ketenangan batin semuanya kembali bergantung pada manusianya.
            Spesifik ke arah manusianya sendiri, orang Toraja dari zaman dahulu kala terkenal dengan rasa kebersamaan dan kekeluargaan yang tinggi, solidaritas yang kuat serta keramahannya. Diyakini seiring dengan perkembangan budayanya, di tahun 2030 orang Toraja akan tetap mengikuti arus globalisasi untuk tetap modern dan eksis di zaman yang dijalaninya.
            Untuk daerahnya, dengan persentase 30% Toraja akan menjadi kota yang besar dan modern, sedangkan 70% diperkirakan Toraja akan menjadi kota pariwisata yang besar.
            Di tahun-tahun mendatang, budaya Toraja tidak lagi bergantung dan berdasar pada keturunan/kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat pendidikan dan kemapanan ekonomi.
            Mempertahankan suatu budaya adalah hal yang sulit. Kuncinya adalah falsafah budaya yang harus dipahami dan dihayati. Karena saat generasi muda tidak memahami falsafah budaya daerah tempat ia tumbuh dan berkembang, itu justru akan menyebabkan terjadinya konflik.
            Tak dapat dipungkiri jika nantinya akan ada perubahan pada setiap prosesi budayanya akibat globalisasi. Yang penting dalam menjaga keutuhan suatu budaya ialah kesadaran dan kecintaan terhadap budaya itu serta menjadikannya sebagai kebutuhan, maka dengan sendirinya budaya itu akan tetap bertahan.
            Selain itu, yang dapat dijadikan perisai adalah generasi muda yang berdedikasi dan peduli kepada tradisi serta budaya daerahnya baik secara fisik maupun nonfisik. Diperlukan pula jiwa-jiwa yang berdedikasi dalam pengembangan tradisi dan budaya serta mampu menciptakan kreasi baru yang dapat dinikmati kalangan luas.
            Budaya Toraja sudah terbilang ‘oke’ dalam hal promosi, langkah selanjutnya tinggallah pembenahan dari dalam untuk memastikan budaya dan daerahnya akan terus eksis.
            Jika kita menginginkan budaya Toraja tetap eksis dalam berbagai situasi maka kita harus menghidupkan dan memasyarakatkan kembali tradisi dan budaya tersebut. Di samping untuk memenuhi dan mencapai kepuasan batin, budaya Toraja dapat pula dijadikan sebagai mata pencaharian alternatif dengan memanfaatkan warisan budaya tanpa membahayakan kelestariannya.
            Apresiasi adalah jalan untuk mempercepat pengenalan terhadap budaya. Semakin dekat kita mengenal budaya sendiri, semakin kecil pula kemungkinan kita mengenal istilah budaya yang punah atau hampir punah di masa-masa yang akan datang.

cerpenqu^


SAHABAT UNTUK SELAMANYA
Teng…teng.. Lonceng berbunyi.
Semua murid menuju ke lapangan untuk melaksanakan ritual yang gak asing lagi pada hari senin yaitu upacara bendera, upacara hari senin itu, Aku mendapat giliran jadi petugas penjaga,  Rey , Delon, Joey dan Chris juga menjadi  petugas. Kami berlima adalah sahabat sejak kelas 1 SMP, dan sekarang kami duduk di kelas 3 SMP.
Upacara selesai, semua peserta bergegas menuju kelasnya masing-masing. Begitupun kami. Kami segera beranjak meninggalkan lapangan upacara.
“Rey... Lo nggak lupa bawa buku gue yang lo pinjam kemarin kan?” tanyaku kepada Rey saat dalam perjalanan.
“Akhh... Sorry Bryan, gue lupa... Entar gue anterin deh ke rumah lo....”
“Yaudah deh gak apa-apa...”
“Ssst... Tuh cewek cakep yah...” kata Joey mengganti topik pembicaraan di antara kami sambil menunjuk ke arah selatan dari posisi kami saat itu.
Serentak kami mengikuti arah yang dimaksudnya.
“Vina...”kataku dalam hati.
“Yaaa.... Itukan pacar gue...” Chris nyerocos.
“Uuuuuuuuuuuuu” ejek kami serentak disusul dengan tawa.
Yah, itulah kami. Penuh dengan inspirasi dan canda tawa.
***
Beberapa minggu kemudian...

“Hai Vin...” sapaku pada Vina saat bertemu dengannya sepulang sekolah. Cewek yang telah lama mengambil posisi tersendiri di hatiku ini merupakan kembang sekolah. Selain kaya, ia juga pintar dan ramah.
“Hai juga Bryan...”balasnya disertai seulas senyuman terindah yang belum pernah ku dapatkan selama ini. Dia mampu membuatku geregetan.
“Aku anterin kamu yah... Kebetulan kan kita searah...” aku menawarkan tumpangan. Berharap ini sebagai awal yang baik.
Tak ada jawaban...
...
“Mmmm... Boleh deh...” akhirnya.
“Yeaaaaaah....”teriak hatiku.
Dalam perjalanan aku tak pernah berhenti berharap agar waktu tak cepat berlalu. Bersamanya seolah berada di nirwana. Sangat indah.
***
“Hai guys...” sapaku ketika ke esokan harinya di sekolah kepada keempat sahabat karibku.
Sepertinya mereka dapat membaca kebahagiaan yang sedang aku rasakan.
“Kenapa lo? Abis menang undian...?” tanya Delon dengan kebingungan.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Delon, Joey yang kelihatannya canggung dengan keadaan itu langsung bergegas pergi tanpa meninggalkan sepatah katapun. Perhatian pun teralih.
***
“Eh... Kenapa ya kok belakangan ini Joey jarang ngumpul bareng kita lagi?” kataku membuka pembicaraan saat kami tengah berada di kantin sekolah sembari mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Awal berubahnya Joey.
Sejenak kami terdiam. Memang akhir-akhir ini Joey berubah aneh. Sepertinya dia berusaha menghindar dari kami atau mungkin ada sesuatu yang dia sembunyikan.
“Apa dia ada masalah...?” sambung Chris mencoba seserius mungkin.
“Tapi kenapa dia nggak cerita ke kita coba...?” kataku lagi.
Kebingungan melanda kami sejenak. Kami mencoba menerka apa yang sebenarnya terjadi. Namun tak kunjung kami temui jawaban dari semuanya itu. Boleh dikatakan di antara kami berlima, Joey-lah yang paling tertutup. Ia selalu sungkan menceritakan apa yang terjadi pada hidup dan kehidupannya. Kami pun tak dapat memaksanya untuk berbagi cerita.
 Karena waktu istirahat dibatasi, kami tak bisa berlama-lama berada di kantin. Saat lonceng yang menandakan berakhirnya jam istirahat berbunyi, kami segera bergegas meninggalkan tempat tersebut.
                Saat hendak memasuki ruangan kelas, aku sempat melihat Joey yang sedang mojok. Tanpa memberi konfirmasi berlanjut kepada Chris, Delon dan Rey, aku segera beranjak menemuinya dengan maksud mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.
                “Perjalanan hidup itu nggak selamanya mulus Joey... Dunia pasti berputar... Ada saatnya kita harus berubah...” kataku tanpa berbasa-basi. Aku seperti dapat membaca sedikit persoalan yang tersirat pada raut wajah Joey.
                Joey masih diam. Aku berusaha terus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya. Namun sepertinya terlalu sulit. Ia masih bertahan dengan sikapnya.
                “Jalani apa yang udah jadi takdir... Lo nggak mungkin bisa ngehindar dari takdir... Sekalipun lo ngehindarin takdir, itu sama aja lo ngejalanin takdir yang lain yang emang udah Tuhan siapin buat lo..” aku masih terus berusaha membuat Joey mengerti.
                Namun sepertinya aku salah. Joey sama sekali tidak menggubrisku.
                Aku menahan omonganku, menunggu reaksi darinya.
                ....
                Kesekian kalinya aku gagal. Dia malah berlalu meninggalkanku.
                “Joey... Awal yang bahagia akan muncul setelah akhir yang suram...” teriakku.
                Ia tetap berlalu dengan diamnya.
***
Entah apa yang sedang direncanakan Tuhan saat ini dan betapa aku mengutuk takdir yang telah tertulis. Dengan diiringi rangkaian nada yang menjadi lagu indah dari Last Child-Percayalah, aku berusaha mengalihkan pikiranku, namun tak menunjukkan sedikitpun hasil yang bermakna. Aku masih penasaran dengan Joey. Entah apa yang membuatnya begitu tertutup dari kami.
Pemikiranku terhenti oleh dering handphone di sampingku. Tertera nama Rey dalam panggilan. Tanpa berpikir panjang, aku segera mengangkatnya.
“Halo... Kenapa Rey?” spontanku.
“Lo dimana Yan...?”
“Di rumah ni... Kenapa?”
“Lo sekarang ke Rumah Sakit Kartini yah... Sekarang... Gue, Delon ama Chris udah stand by di sini...”
“Loh? Emangnya siapa yang sakit...?” tanyaku kebingungan.
“Entar aja deh ceritanya... Lo buruan yah...”
Telepon terputus.
Aku segera mengambil jacket dan menyalakan motorku lalu meluncur ke tujuan yang dimaksudkan oleh Rey.
.......
Dari kejauhan aku dapat mengenali Rey, Delon dan Chris yang sepertinya memang telah menantiku sejak tadi.
Setelah memarkir motorku, tanpa membuang waktu aku berlari menuju arah mereka.
“Ada apa sebenernya...? Siapa yang sakit...? Bokap gue? Nyokap gue?” kataku panik.
“Yan, tenang Yan... Ini bukan soal bokap atau nyokap lo...” jawab Delon.
“Lah..? Terus..?” aku semakin bingung.
“Ini soal Joey...” jawab Chris.
Aku bingung, penasaran dan terdiam menunggu penjelasan mereka.
“Nyokapnya Joey masuk UGD... Bokap nyokapnya konflik lagi...” mendengar penuturan dari Rey, aku seperti baru saja memecahkan misteri dunia yang tersimpan 1000 tahun lalu. Ada perasaan lega, tapi...
“Konflik...?” tanyaku dalam hati.
“Konflik apa...? Terus kalian tahu dari mana...?” akhirnya aku bertanya.
“Jadi beberapa hari ini tuh, kami bertiga nyari tahu tentang masalahnya Joey... Terus tadi pagi kita ke rumahnya, kata Bang Umang, Joey lagi nungguin mamanya di sini, makanya kita buru-buru ke sini untuk mastiin...” Delon menjelaskan.
“Terus Joey-nya mana...?” sambil memutar tubuhku berusaha mencari sosok itu.
“Maka dari itu... Dari tadi kami cariin tapi nggak ketemu...” Rey mulai gelisah.
“Dan masih ada satu masalah lagi...” sambung Delon.
“Joey juga jealous ama kedekatan lo dengan Vina...” kata Chris.
“Apa...?” aku tersentak.
Aku berpikir. “Jadi selama ini Joey suka ama Vina? Dan.... hahahaa” aku bingung.
Sementara itu, pikiranku juga masih terus berusaha mencerna penjelasan pertama Delon.
“Dalam masalah serumit ini, kenapa Joey lebih memilih untuk memendamnya sendiri?” hatiku bertanya. “Dan mengapa ia tak pernah menyampaikan bahwa ia mempunyai rasa kepada Vina?”
“Joey...” teriak Chris yang sepertinya mendapati Joey. Aku segera mengikuti arah mata mereka. Ku dapati Joey yang tengah berjalan ke arah pintu Rumah Sakit sebelah Barat.
Dengan setengah berlari, kami berusaha menghentikannya, namun ternyata dia masih tetap cuek.
Dengan sikapnya yang demikian,  malah sempat terbesit di benakku bahwa mungkin ia sama sekali tak pernah menganggap kami ini sahabat.
“Joey... Lo ini kenapa sih? Kenapa lo ngehindar dari kita?” Delon menghentikan langkahnya tepat di depan Joey.
Tak ada jawaban.
“Lo nggak bisa ngomong?” Delon mulai emosi.
Joey masih diam.
“Apa sih yang ada di pikiran lo?? Kenapa lo terlalu egois??” aku pun angkat bicara.
“Kita semua nganggap lo sahabat, bahkan saudara.. Tapi ternyata gini sikap lo? Lo sama sekali nggak nghargain kita... Lo nggak pernah tahukan gimana khawatirnya kami...? Lo nggak tahu karena lo nggak pernah mau berbagi cerita...” sambungku.
“Apa sih mau lo?” sambung Delon.
“Gue nggak cerita karena kalian nggak akan ngerti apa yang gue rasain... Dan Yan, bukan gue yang egois, tapi lo...” Joey akhirnya berhenti dari kediamannya.
“Nggak mungkin kita nggak ngerti... Kenapa lo nggak pernah ngomong ke Vina? Terus apa lo tau, kalo gue sebelumnya nggak tau tentang perasaan lo ke Vina?” bantahku.
Sederet pertengkaran pun terjadi.
“Cukup... Apa-apaan ini... Kenapa justru kalian yang bertengkar...?” Rey dan Chris berusaha melerai.
“Apa hanya karena cewek kalian mau ngerusak persahabatan kita...?” sambung Chris.
“Kalian ingat nggak ikrar persahabatan kita?? Ingat nggak??” Rey berkomentar.
“Lalu untuk apa kita bersahabat kalo kejadiannya justru seperti ini???” sambungnya.
Kata-kata itu menyadarkanku. Untuk apa bertengkar? Aku lalu menatap Joey dalam. Terlintas di benakku penderitaan yang ia alami selama ini, apa aku harus menambahnya? Sejahat itukah aku? Dan Vina... Apa aku yang terlalu egois?
Hati nurani memaksaku untuk merangkul Joey keluar dari permasalahannya, itu yang seharusnya ku lakukan.
Kami lalu termenung. Mengingat semua kebersamaan yang telah kami lalui selama ini, apa semuanya harus berakhir...
Tidaak..
Nuraniku memberontak.
“Joey... Kita berempat sayang ama lo... Kita udah nganggap lo saudara kami sendiri... Kita pengen lo terbuka... Nggak ada yang perlu lo sembunyiin... Kalo lo ada masalah, kita pasti bantuin lo kok... Nggak ada masalah yang nggak bisa diselesein... Dan soal Vina, gue Cuma kagum ama dia... Nggak lebih...” kataku panjang lebar disertai tatapan sebagai tanda ketulusan. Namun kalimat terakhir itu, tak pernah aku inginkan. Tapi secepat kilat aku kembali menghapus keegoisanku.
“Maafin aku teman-teman... Aku nggak bermaksud gitu... Aku juga nggak pengen ngerepotin kalian... Lagipula inikan masalah keluarga kami... Soal Vina, aku udah nggak masalahin itu...” Joey memberi penjelasan.
“Nggak ada sahabat yang ngerepotin... Lagian, keluarga lo kan keluarga kita juga...” Chris memulai lawakannya.
Dalam sekejap persahabatan kami kembali indah.
Dengan canda tawa yang penuh gairah kami berjalan menyusuri koridor Rumah Sakit menuju ruang tempat orang tua Joey berada. Namun belum sempat mendekati ruangan orang tua Joey, Chris yang sedari tadi mendahului kami memberikan isyarat untuk tidak masuk ke ruangan itu.
“Kenapa?”  kami kebingungan.
“Ada yang lagi pacaran di dalam...” katanya sambil menunjuk ke arah ruangan tersebut disertai tawa. Sepertinya ada efek positif daru peristiwa masuknya ibunda Joey ke Rumah Sakit.
Serentak kami mengangguk mengerti apa yang dikatakan Chris.
Terpancar raut kebahagiaan di wajah Joey. Aku dapat merasakannya. Seketika bebannya terangkat. Joey telah kembali. Lima serangkai kembali bersama.
Kalimat itu memang terbukti benar.
AWAL YANG BAHAGIA AKAN MUNCUL SETELAH AKHIR YANG SURAM.






















“SEBUAH KEPUTUSAN”
Kriiiiing….. Bunyi jam weker di kamarku yang menandakan udah waktunya aku bangun.
                “Eril! Eril, bangun! Sekolah!” kata mama membangunkanku yang, masih saja meringkuk tidur di kamarku yang terkesan “indah”. Bagaimana tidak, kamarku itu sangat tidak tertata, bahkan lebih pantas dikatakan gudang.
                “Masih ngantuk, Ma…!” kataku sambil memperbaiki posisi tidurku.
                “Bangun…! Sekolah kamu tuh dibayar…! Mau jadi apa kamu kalau gini terus…!”
                “Ma, Eril…” aku belum sempat ngomong, malah mama udah narik badan aku.
                “Bangun…” kata mama lagi.
                “Iya… iya…” jawabku sambil mencoba beranjak dari tidurku dan menuju kamar mandi untuk melaksanakan ritual  yang selalu aku lakukan setiap hari. Setelah itu aku berpakaian dan bercermin. Tapi bayangan yang aku lihat selalu saja sama setiap harinya, nggak ada yang istimewa.
                “Pagi, Ril…” sapa Andi, salah satu sahabatku.      
                “Pagi juga, Ndi…!” balasku singkat sebelum akhirnya kami masuk kelas.
                Hari-hariku di sekolah selalu sama, nggak pernah berubah, membosankan. Yang ada di benakku hanya ingin pulang dan tidur.
                “Siang, Ma…!” sapaku sepulang sekolah saat berpapasan dengan mama yang lagi nonton.
                “Siang juga, sayang…! Cepet amat pulangnya…” balas mama lembut sambil terus menatap layar monitor Tv.
                “Dari pada telat pulang kan mending kecepetan, Ma…!” kataku sembari melangkah menuju kamarku.
                Aku nggak keluar kamar setelah makan siang, lagi bad mood jalan hari itu.
                “Ril… Eril…!” panggil Vita, sepupuku. Dia cantik, lebih banyak tau soal fashion ketimbang aku yang tampil gini-gini aja.
                “Langsung masuk aja…” jawabku singkat.
                “Lo mandi gih…!” katanya sambil berbaring di sisi kanan tempat tidurku.
                “Mau kemana emangnya…?” tanyaku bingung.
                “Ibadah…” katanya lagi. Tanpa banyak koment aku langsung melaksanakannya. Itung-itung ngisi waktu yang kosong,  kataku dalam hati.
                “Cabut yuk…!” kataku setelah selesai bersiap-siap. Kostumku nggak berubah dari hari ke hari biasanya saat ingin keluar, celana jeans, kaos di baluti jaket, dan sepatu kets.
                “Ya ela… lo itu nggak pernah berubah yah…!” katanya mengomentari penampilanku. Selanjutnya ia tak berkata-kata lagi, karena aku sudah berjalan mendahuluinya dan menyalakan mesin motorku.
***
                Setelah mengikuti serangkaian ritual ibadah seperti biasa, aku segera mengajak Vita pulang, tapi ditolaknya dengan alasan yang nggak aku ngerti. Dengan berat hati aku menunggunya. Saat berjalan menuju halaman depan gereja, nggak sengaja aku nabrak cowok yang sepertinya aku kenal.
                “Eh.. Sorry banget yah… gue nggak sengaja…!” kataku sambil memungut selembaran yang berserakan entah isinya apa aku nggak tau, yang jelas kertas-kertas itu jatuh dari tangan tuh cowok waktu aku nabrak dia.
                “Iya… nggak apa-apa kok…!” katanya sambil turut membantuku mengumpulkan semua selembaran itu.
                “Makasih yah…!” katanya lagi saat aku memberikan kertas-kertas yang telah kukumpulkan.
                “Sekali lagi maaf yah…!” kataku rada malu. Setelah itu aku berlalu meninggalkannya karena Vita datang dan memintaku keluar. Sepertinya ada hal penting yang ingin dia katakan.
                “Aduh… Ada apa sih…?” tanyaku meminta penjelasan darinya.
                “Lo ngapain tadi…?” tanyanya melototiku.
                “Nggak ngapa-ngapain, cuma bantuin Aldi mungutin kertas yang terhambur karena gue tabrak..” jelasku.
                “Iya… Gue juga tadi lihat… Tapi nggak usah lama-lama gitu ngobrolnya…”
                “Emangnya kenapa sih?” tanyaku kebingungan.
                “Pacarnya tadi natap lo sinis, gara-gara ulah lo itu!” jawab Vita.
                “Si Tessa?” kataku lagi mencoba menebak, karena yang aku tahu, Tessa adalah satu-satunya pacar Aldi sejak aku kelas 4 SD dan sepertinya itu masih berlangsung sampai sekarang.
                “Siapa lagi…” kata Vita sambil mengedarkan pandangannya. Entah apa yang dia cari.
                 “Yang penting kan aku nggak ngapa-ngapain dia…” cetusku cuek sebelum akhirnya berlalu meninggalkannya.
***
Sejak kejadian itu, setiap ada acara dan aku serta Aldi hadir, entah kenapa cowok cakep, punya pekerjaan tetap, biasa mainin alat music keyboard, drum, bass, guitar, de el el itu selalu merhatiin aku. Aku nggak pernah berani beradu pandang dengannya, mengingat kata-kata Vita yang mengatakan bahwa tatapan sinis Tessa selalu menghujaniku. Aku pun dibuat malamun oleh hal itu, hingga nggak aku sadari kalau Aldi sedang berjalan menuju ke arahku.
“Hai…” sapa Aldi yang nggak langsung aku jawab karena aku kirain itu cuma bagian dari lamunanku.



“Woi…!” sentaknya kali ini lebih keras dari awal tadi.
“Mau pulang sekarang…?”  kataku spontan, karena aku kira dia Vita.
“Pulang…?” tanyanya balik yang membuat wajahku memerah karena malu.
“Eh… Sorry, aku kirain Vita…!” kataku mencoba memberi alasan.
“Nggak apa-apa kok... Kamu daftar pengkaderan keyboard kan…?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Ummm… Iya… Kenapa ya?”
“Besok ada latihan… Dateng ya…!” pintanya disertai senyum. Aku ngerasa kalau tatapannya ke aku tuh gimana gitu, apa dia suka yah? Tanyaku dalam hati. Bagaimana mungkin dia suka sama cewek kayak aku? Aku geleng kepala, cepat menghapus lamunanku itu.
Keesokan harinya…
“Udah lama yah…?” kata seseorang mengagetkanku dari belakang.
“Nggak kok, Di…” jawabku saat menyadari itu adalah Aldi.
“Lo cantik banget hari ini…” pujinya. Aku sendiri heran. Tak ada yang berubah dariku cuma rambutku aja yang aku urai dan sedikit kusossis.
“Hmmm…” desusku saat kehabisan kata-kata.
“Yaudah… Kita mulai aja…” katanya setelah selesai memasang perlengkapan keyboard. Tanpa menolak aku segera mangambil posisi duduk sesuai pinta Aldi. Ia mengajarkan aku semua yang ia ketahui tentang musik itu. Aku tertegun ketika ia menggenggam jemariku dan meletakkannya di atas toots keyboard hingga membentuk akord yang dimaksud. Detak jantungku semakin nggak karuan saat ia menatapku dalam plus senyuman mautnya. Adegan itu terulang beberapa kali, dan tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul 7 malam. Latihan itu pun di akhiri.
“Aku anter yah, Ril…” tawar Aldi.
“Anterin aku…? Nggak usah deh… rumah aku kan deket…” hindarku.
“Udah.. Nggak usah nolak deh… Pokoknya aku anter…!” tekadnya masih dengan tatapan dalam.
Aku udah nggak bisa berkata-kata lagi. Hingga akhirnya Aku mengikutinya.
                “Makasih ya…” kataku saat motor Vixion-nya berhenti tepat di depan halaman rumahku.
                “Iya sama-sama… Kamu isi nomor kamu dong…!” katanya dengan senyum sambil memberikan HP-nya. Aku pun segera mengetik deretan angka di layar HP-nya dan menyimpannya di phone book-nya.
                “Aku pulang yah…!” katanya sambil menyalakan mesin motornya dan akhirnya berlalu meninggalkanku. Aku hanya membalas kata-katanya dengan seuntai senyum, lalu masuk ke dalam rumah.
                “Cie…Cie… Dianterin Aldi ni yee…!” goda Ririn, adik perempuanku.
                “Huss… berisik lo…!” ketusku kemudian masuk ke kamarku. Aku segera melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu, aku meyempatkan diri untuk bercermin dan memakai parfum, kemudian berbaring di tempat tidur sambil mendengarkan lagu dari MP3 kesayanganku. Beberapa saat kemudian, HP-ku berbunyi dan tertera ada 1 pesan masuk.
                “Malam, Ril… Lagi ngapain??? Ini aku Aldi…” bunyi pesan itu.
                “Malam juga… Aku lagi baring-baring aja nih… kamu???” balasku.
Pesan itu terus berlanjut hingga akhirnya tiba pada pesan yang membuatku terkesan.
                “Kamu mau nggak jadi pacar rahasia aku…???” bunyi pesan kesekian dari Aldi. Aku bingung, entah harus seperti apa ekspresiku. Aku juga bingung harus menjawab apa pesan itu. Tapi setelah lama berpikir sambil memutar-mutar HP-ku, entah apa yang membuatku menerimanya. Sebagai pacar rahasia, tentu aku mempunyai batasan. Tapi ia sempat mengirim pesan yang berisi bahwa perasaannya ke Tessa udah mulai pupus. Dan itu membuatku menggantungkan harapan padanya. Hubungan itu awalnya berjalan dengan baik, senyumannya terus mengisi hari-hariku.
                “Pagi Cint…!” katanya memberi ucapan lewat pesan.
                “Pagi juga…!” balasku singkat.
                “Kangen nih… !” manjanya.
                “He.he. sama…!” balasku. Sekian lama hubungan kami berjalan dengan baik dan harmonis. Hingga suatu saat kebingungan itu melandaku.
                “Kok pending sih…!” kesalku saat menyadari pesanku pending ke Aldi. Aku coba menelponnya tapi tetap saja hasilnya nihil. Aku mencoba tetap berpikir positif tentangnya. Tapi itu lenyap saat hari latihanku tiba, 3 jam aku menunggunya tapi ternyata ia nggak datang-datang. Akhirnya aku pulang dengan perasaan nggak karuan.
                “Kenapa dia nggak datang yah…? Apa dia lupa…? Tapi kenapa nomornya masih nggak aktif…?” tanyaku dalam hati. Saat itu aku di selimuti 1000 tanda tanya besar.
***
                Saat hari ibadah tiba, aku mengharapkan dia datang. Tapi harapan itu hanya sia-sia. Nggak ada kabar tentangnya.
                “Ada apa sebenarnya…? Kenapa dia menghilang…?” kataku dalam hati di sela ibadah. Tak ada yang dapat aku lakukan selain diam dan menanti.
               


Hari itu aku memutuskan untuk mencari Aldi ke rumahnya. Tanpa di sengaja dalam perjalanan menuju rumahnya, aku bertemu dengannya dalam perjalanan. Tanpa membuang waktu aku segera menambah kecepatan laju motorku untuk menghentikannya. Alhasil cara itu berhasil dan ia pun langsung mengenaliku.
                “Ril… Kamu mau mati apa…?” katanya sambil melepaskan helmnya.
                “Nggak penting… Yang penting itu, sekarang kamu jelasin ke aku kenapa tiba-tiba kamu menghilang….? Kamu itu buat aku khawatir tahu nggak…!” ketusku to the point.
                “Sorry, Ril… Tapi aku lagi pusing banget… Tessa udah tahu kalau aku pacaran ama kamu, dan dia minta aku putusin dia…!” curhatnya dengan nada lirih. Kata-katanya itu membuat hatiku seketika sakit. Aku kembali teringat kata-katanya dulu kalau perasaannya ke Tessa tuh udah pupus, tapi kenapa sekarang Tessa minta putus kok dia kayaknya pusing dan takut banget kehilangan Tessa. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku segera beranjak meninggalkannya. Namun, Dia mengejarku dan berusaha menghentikanku.
                “Ril… Tunggu…!” teriaknya. Tapi nggak aku hiraukan. Hati aku udah terlanjur sakit. Dengan cepat aku segera menyalakan mesin motorku dan berlalu meninggalkannya. Aku nggak tau apa yang dia lakukan sepeninggalku. Sesampaiku di rumah, aku langsung menerobos masuk ke dalam kamar tanpa memperdulikan orang-orang di sekitarku.
                “Sial…” geramku. Sejak kejadian itu aku selalu menghindari Aldi. Sempat ia bertamu ke rumahku tapi nggak aku temuin. Aku juga sadar, aku nggak bisa nyalahin dia sepenuhnya, karena ini juga kesalahanku. Tapi entah kenapa hati aku sakit banget tiap ingat kata-katanya. Seketika aku berubah menjadi sosok yang pendiam dan penyendiri. Tapi itu bukan berarti aku berubah permanen seperti itu, aku hanya butuh waktu untuk menenangkan pikiran, dan mencari jalan keluar semua permasalahan itu.
                Setelah sekian lama, aku telah memfinallkan keputusanku dan aku merasa bahwa aku harus menemui Aldi. Aku nekat untuk menemuinya di kantornya. Setelah meminta tolong pada security kantornya, ia pun muncul dari dalam ruangan.
                “Di, gue pengen ngomong penting…!” kataku memulai pembicaraan.
                “Silahkan…!” jawabnya masih tetap menatapku.
                “Huft…” desusku menghela nafas mempersiapkan diri untuk mengungkapkan semuanya kepada Aldi, karena menurutku ini yang terbaik untuk aku, Aldi dan Tessa.
                “Sebelumnya aku pengen minta maaf…!” mulaiku.
                “Aku yang salah kok…!” katanya lirih.
                “Hmmm… Kamu beneran sayang ama aku…?” tanyaku sambil membalas tatapannya.
                “Aku sayang banget ama kamu, Ril…! Katanya menggenggam tanganku dan meminta kepercayaan dariku.
                “Aku percaya kok…!” jawabku sambil berusaha melepaskan genggamannya.
                “Kenapa Ril…?” katanya meminta penjelasan.
                “Mulai sekarang kamu harus bisa lupain aku… Aku ngerasa aku cuma penyusup dalam hubungan kalian…!” kataku dengan mata mulai berkaca-kaca, tapi dengan sekuat tenaga aku mencoba menahannya.
                “Tapi Ril…” belum sempat ia berbicara, aku langsung memotongnya.
                “Ini yang terbaik buat kita, Di…! Kamu harus tetap sama Tessa… kamu nggak boleh ngorbanin dia hanya untuk cewek nggak jelas kayak aku…!” kataku minta dimengerti.
                “Kamu nggak boleh gitu dong Ril…!” jawabnya.
                 “Kalau kamu emang sayang ama aku, kamu harus bisa lupain aku…!” sentakku kemudian berlalu meninggalkannya. Perasaan aku sakit mengeluarkan kata-kata itu, tapi aku ngerasa kalau aku udah ngelakuin hal yang paling benar. Cinta itu butuh pengorbanan, itu sedikit melegakanku. Aku ngerasa nggak sanggup liat kebahagiaan orang lain hilang karena keegoisan aku. Belajar menerima semua ini setidaknya lebih baik untukku dan itu adalah tindakan orang yang berfikir dewasa.
 Dengan berbagai macam cara aku berusaha mengembalikan hubungan Aldi dan Tessa yang sempat kandas karena keegoisanku. Aku memberanikan diri menemui Tessa, awalnya dia emang nggak nerima aku dengan baik, tapi penuturanku yang panjang lebar dan cukup menyentuh membuatnya mengerti. Sempat dia malah nyuruh aku ngelanjutin hubunganku ama Aldi tapi aku malah berkata:
                “Tes, kamu jauh lebih pantas ngedampingin Aldi ketimbang aku… Aku bahagia kok dengan hidupku sekarang…!” kata-kata itu mengalir begitu saja dari mulutku. Usahaku mempertemukan mereka dengan susah payah akhirnya berhasil. Aldi kembali seperti dulu lagi. Terakhir aku menemuinya ia mengeluarkan kata-kata diluar dugaanku.
                “Aku sekarang ngerti Ril… Cinta itu nggak harus memiliki… Makasih yah, udah ngajarin aku arti cinta sesungguhnya…!” katanya dengan senyum terindah yang pernah aku lihat.
                “Aku boleh nggak meluk kamu… Sebagai tanda persahabatan kita…!” pintanya lagi penuh harap.
                Aku nggak jawab apa-apa, aku hanya membalasnya dengan seulas senyum dan ia menangkap maksud isyarat itu. Dengan cepat diraihnya tubuhku dan dipeluknya dengan erat. Kenyamanan pelukan itu masih dapat aku rasakan. Pelukan cinta sementara yang sempat mengisi hari-hariku, membuatnya lebih berwarna, mengajarkan aku tentang rindu dan cinta yang sebenarnya.
                Aku merasa amat sangat lega. Nggak ada beban yang menghujaniku lagi. Semua yang telah terjadi aku jadikan sebagai kenangan yang terindah yang pernah kualami.
3 bulan kemudian…

Kini Aldi telah kembali bersama Tessa, mereka udah tunangan dan kabarnya dalam waktu dekat mereka bakal married. Sementara aku…
                “Pagi sayang…! Berangkat yuk… entar telat…!” kata Bhen, kekasihku. Aku dipertemukan dengannya melalui Vita. Dia baik, perhatian, penyayang dan dia juga yang kembali mengisi cinta di hatiku yang sempat kosong. Tanpa membuang waktu lagi, aku segera menutup diary yang berisi cerita cinta yang indah dan berlalu dengan Rhio, pangeranku yang aku beri panggilan “Bebebh”. Ada sesuatu pada dirinya yang buat aku nggak bisa lepasin dia, lagipula kehilangan itu menyakitkan, jadi aku nggak pengen kehilangan lagi. Mengerti cinta emang sulit, tapi merasakan kasih sayang dan merindukan kehadiran kekasih lebih bisa menutup semua sakit itu.















PELITA DERITA

Ini sudah mulai gila. Bunda selalu bilang seperti itu ketika menatap penuh kejengkelan di setiap lembar gambaran yang baru saja kugunting. Ia merampas majalah-majalah remaja dari mejaku lalu seperti biasa menyingkirkan semuanya ke kotak sampah. Aku mendengus berusaha menunjukkan penyesalan yang dibuat-buat. Setelah bunda melangkah pergi segera kuamankan semua lembaran itu ke sebuah laci mungil di meja belajarku yang berkunci. Aku melompat masuk ke kasurku lalu menghangatkan diri dalam bungkusan selimut. Sekali lagi di setiap malamnya kuulangi permintaanku dan aku yakin permintaan itu akan terwujudkan pada waktu yang tepat.
                Namaku Dido. Nama itu telah melekat padaku mulai dari proses berkembangnya diriku sebagai embrio. Bunda sangat tergila-gila dengan tokoh-tokoh aktor pujaannya. Bunda seperti lebah yang menghindari dari satu bioskop ke bioskop lainnya hanya untuk memenuhi kegilaannya menonton. Tapi aku terbiasa dengan itu, sejak dalam kandungan sekalipun. Begitu pun dengan ayah yang terbawa arus ambisinya menjadi seorang joki. Dia terdengar seperti pemimpi besar, yang mengejar impiannya lalu berkelana entah kemana, tapi aku terbiasa. Hidupku bergantung dari semangat yang timbul dari keinginan dan ambisi itu. Satu lagi yang aku tahu, kedua orangtuaku menikmati ambisinya, begitu pun dengan aku.
                Bunda meninggalkan kecintaannya dengan film bersamaan dengan ayah yang meninggalkan kami. Bunda menghindarkan aku dari rasa ingin yang kumiliki sekarang ini. Dia meyakinkan aku kalau hanya kehancuran yang akan terjadi. Tapi tak akan pernah kutinggalkan keinginan dan ambisiku. Mencintai cewek asing.
                Aku terjaga dalam tidurku tak bisa membayangkan hari pertama di sekolahku yang baru. Fido berbalik lalu tangannya yang kurus membentur pelipisku. Aku terbangun dalam gelap, membenarkan letak tidurnya. Dia adikku, namanya Fido. Dia anak lemah yang tidak mempunyai keinginan apapun dalam hidupnya, itu yang membedakannya dengan anggota keluarga yang lain. Untuk hidup aja ia harus melampaui batas yang sulit, menerima bantuan untuk mengembangkan paru-parunya yang menciut dan kadang bermacam-macam selang dan kabel berlalu lalang diantara pembuluh darah di sekujur tubuhnya. Aku tak terlalu mengenal dia karena siapa pun yang mengamatinya terlalu lama tak jarang ia berkata : “Jangan lihat aku seperti itu, aku bisa mati kapan saja”.
                Fido takut kematian menjemputnya di saat-saat tak terduga. Ia terbangun di tengah malam untuk memastikan ia tetap berada di ranjangnya, bukan di surga atau pun neraka. Ia takut. Berbeda denganku, menurutku selama keinginan ini masih bergelora rasanya aku tak mungkin mati.
***
                Aku sudah berada di gedung sekolahku yang baru ketika waktu sarapan pagi tiba. Menghirup udara eksklusif yang disimpan rapat diantara ruang-ruang kelas berfasilitas mewah. Disinilah aku dengan puluhan murid berambut pirang dan bermata biru. Aku berusaha tidak menyisakan bekas muntahan Fido di jejak sepatuku ketika berjalan, tapi cairan kental berwarna kuning itu menempel seperti permen karet.
                “Jangan pernah menyisakan makan siangmu”, bunda melepaskan genggamannya ketika aku terlalu sibuk dengan sepatuku.
                “Hm…” aku terus bergumam saat bunda memuntahkan nasihatnya.
                “Aku tak mau wajahmu berubah sampai akhir bulan tiba”.
                “Hm…”, aku berusaha mengingat-ingat raut wajahku kemarin malam dari pantulan kaca. Aku tampan juga.
                “Dan jaga sikapmu sampai bunda menjemputmu kembali”.
                “Hm…,”.
                Bunda dan aku berpisah saat melewati ruang kepala sekolah, ia menatapku untuk terakhir kalinya dan mengisyaratkan perkataan jangan nakal pada pandangannya. Aku berlalu dan sesungguhnya gumamanku itu berarti jika situasi mendukung. Aku tak benar-benar yakin anak-anak di sini terbiasa menghabiskan makan siangnya.
                Aku terduduk di bangku taman lalu meletakkan ransel serta map kuning tepat di sebelah ku. Aku memeriksa kembali mapku, meyakinkan kunci laci meja belajarku masih ada di sana. Aku tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika kunci itu di tangan bunda.
                Mulanya ini sulit, untuk menginjakkan kaki di sini rasanya seperti hal yang mustahil. Sepatu keds kumal yang membungkus kaki ku sempat bertahan dari rasa malu saat ditertawai lantai mengkilap gedung ini, tapi setelah apa, kenapa dan bagaimana yang kupaparkan pada bunda dapat kupenuhi sebagai syarat tibalah kedua kaki ku merayap diantara dinginnya lantai marmer sekolah ini.
                Aku masih menunggu. Menunggu mentalku siap, menunggu ruang kelas ku, menunggu segala sesuatunya terjadi. Aku, Dido dengan ancaman apa pun siap terjun bebas diantara tempat berkumpulnya cewek-cewek bule. Itulah obsesiku.
***
                                Ketika baru mendafar ke tempat impianku ini, aku serasa dirasuki roh Romeo. Cewek itu benar-benar beruntung membuatku begitu terpesona pada pandangan pertama. Mataku meneliti penampilannya, pembawaannya yang terlihat feminine dan lembut membuatku semakin sulit untuk menahan gejolak hati yang meluap-luap di aliran darahku. Melihat rambut kecoklatan yang berdansa dengan tiupan angin semakin gencar jantungku berdetak.
                Mendapatkan sepasang bola mata ini untuk mencermati segalanya dengan jelas sangat menguntungkanku. Keduanya sangat berguna untuk menemukan Juliet-ku di pagi seramai ini.
                “Hi, new comer!?” aku nyaris menemukan sosoknya, namun lengan kekar mencekat leherku tiba-tiba dan tanpa perlawanan aku menghentikan niatku. Aku menyumpah dalam hati.
                “Aha, Dido” ujarku pada cowok pertama yang berlaku menyebalkan dan seenaknya pagi ini. Di sini tak banyak waktu untuk mengobrol, aku harus menemukan Juliet-ku.
                “I’m Noa. Want to join my club?”
Cowok ini berperawakan menyebalkan dengan senyum kecilnya yang menghalau setiap gerakanku. Kali ini aku harus menjaga sikapku untuk tidak menendang makhluk pengganggu seperti dia.
                “What’s that?”
***
                Janneth beth.
                Aku beruntung dalam dua hal pagi ini. Aku duduk di depan cewek kesukaanku dan bisa tahu namanya tanpa perlu berkenalan. Keberuntungan semacam itu yang bisa membuatku senyum-senyum sendiri selama jam pelajaran. Jantungku seperti digelitiki sehingga terdengar suara “dag-dig-dug” yang mencemaskan. Akankah aku menemukan cinta?
                “Mr. Dido!” aku mendongak dari lamunanku dan menatap sepasang mata yang berlapis kaca mata tebal. “Ha?!”
                “Bukankah lebih pantas katakan, yes sir?” pria berkumis itu berusaha tidak merusak pandangan pertamaku tentangnya. Ia mengecilkan volume suaranya dan bicara lebih tepatnya berbisik padaku dengan ucapan Bahasa Indonesia yang jelas. Aku yakin hanya beberapa yang mengerti. Janneth tersenyum kecil dan senyumnya nyaris menggenangi benakku. Ia membuatku ingin melihatnya terus.
                Setelah istirahat aku kembali terpisahkan dengan Janneth hanya karena semua cowok mengerubungiku, mengatakan apa yang ada padaku keren. Sebenarnya menyenangkan menjadi pujaan seperti ini, tapi aku di sini bukan untuk itu. Mereka menggiringku ke tempat makan siang, tidak mengeluarkan uang mereka untuk membeli makanan tetapi mengambil di tempat dia tidak menuai, menjajah setiap tempat yang bukan milik mereka.
                “Jadilah bagian dari kami atau merana sebagai sampah” Noa mencengkeram bahu bergetar seorang cowok berwajah bodoh, memaksanya untuk menerjemahkan setiap kata-kata yang meluncur dari mulut Noa agar kumengerti.
                “Kita menuju setiap orang yang menyebalkan dan tak perlu lelah dengan setiap tugas yang terabaikan di atas meja”.
                Aku mungkin tertarik tapi melihat salah satu contoh yang menjadi sasaran aku sedikit cemas. Cowok ini begitu lemah dan sama tidak berdayanya dengan ikan yang terdampar di daratan. “Do you think that so smart choice?” tanyaku pada si tampang bodoh itu. Rahangnya sama kakunya dengan caranya bicara. Noa si cowok kasar itu menghentakkan tangannya ke tengkuknya.
                “Ya…ya…ya. Pilihan yang bagus” aku melempar pandangan kea rah Noa yang membuat senyum bosan. Mereka semua menunggu jawabanku. Bel berbunyi nyaring berarti semua ini bisa ditunda. Noa melepaskan cengkramannya dan menyingkir dari meja makan siangku bersama teman-temannya. Tinggal aku dan si wajah bodoh.
                Aku meninggalkannya dan mengisyaratkan padanya untuk segera menyeruput habis sup wortelku masuk ke dalam perutnya. Ketika aku menoleh kembali yang tersisa hanya seperangkat alat makan yang tersapu licin. Dia pasti sangat lapar.
                “Maaf bunda, tak ada pilihan untuk menghabiskan makan siangku sendiri”.
***
                Minggu pertamaku di Saint Anastasia mulai menggerogoti kegiatan-kegiatanku untuk membaca komik, menggunting artikel, dan bersantai. Semuanya menuntut penyelesaian. Tugas-tugas dengan jangka pendek terus mengisi waktu kosongku dan tak banyak waktu untuk sekedar menendang bola atau bermain. Aku sangat terbebani dengan segala tugas yang menumpuk. Aku jadi teringat tawaran Noa. “Kita meninju setiap orang yang menyebalkan dan tak perlu lelah dengan setiap tugas yang terabaikan di atas meja.”
                Aku mengelap setiap keringat yang membentuk aliran sungai di wajahku. Sungguh ini berat. Aku merajut benang-benang kekesalan yang meruwet di ujung benakku. Aku merindukan kebebasanku menendang bola dan menggunting artikel-artikel terbaru dari majalah remaja cewek. Yang terdengar diantara sepi malam ini hanya gemeletuk gigiku yang saling beradu. Sungguh aku benar-benar kesal.
                “Aaaarggh!!! aku akan mati tanpa rasa itu membanjiri darahku”.
Aku tidur di ranjangku berusaha untuk tidak khawatir dengan hukuman tidak membuat tugas. Ranjangku tidak nyaman, sepertinya ada yang mengganjal. Aku memastikan itu hanya perasaanku saja, tapi sebungkus rokok ada di balik selimutku dan ada pesan kecil di atasnya “Try it, One day you need it”.
                Wajah bunda seketika muncul di benakku, memasang wajah kecewa dan kulemparkan kotak rokok itu ke tempat yang seharusnya. Kotak sampah.
Hari mulai petang, dua jam berselang namun ia tak kunjung datang. Hatiku mulai berang karena menelantarkan waktu untuk bersenang-senang diantara rimbunan tugas.
                “Hi!” aku menoleh dan mendapati Janneth berjalan ke arahku.
                “Nice day” komentarku. Ia berlalu tanpa menangkap kekaguman di wajahku. Aku terperangah.
                Banyak waktu terbuang jika aku tak melakukan usaha sedikitpun. Aku ingin perhatiannya hanya untukku. Laki-laki seperti apa aku ini? Otakku berputar dan menemukan jawabannya.
                 “One day you need it” aku mengulang pesan Noa dan mengangguk-angguk mengerti.
                “Ehm…itu dia, suatu yang menarik perhatian cewek-cewek”
***
                Semua tekanan ternyata berhasil memaksaku dan tak membiarkanku berusaha memilih yang baik dan yang benar semua ini terlalu gelap dan tak ada sekecil cahaya yang bisa membantuku melihat. Aku tergiring ke suatu jalan yang belum tentu aku inginkan. Entah dalam situasi seburuk apa aku sekarang.
                Bulan pertamaku telah berhasil mengubahku secara drastis menjadi seorang yang lebih dewasa. Aku mengakui diriku yang dulu terlalu rumahan dan manja. Aku tahu walau awalnya membingungkan, semua ini membuatku merasakan dunia remaja yang sebenarnya. Bersama teman-teman tentunya. Mereka mendukung obsesiku dan mengasah kemampuan naluriahku dalam masalah pergaulan dan mendorongku mengejar yang menurutku pantas buatku. Aku tahu aku butuh mereka dan aku adalah bagian dari mereka.
                “Do it” aku mengulang kata-kata itu setiap gerakan Timothy mulai menunjukkan wajah mengantuk. Dia teman sekamarku yang paling pintar tapi berwajah bodoh di kelas. Dia selalu gemetaran setiap kali dibentak. Mulanya ini sangat sulit tapi aku sudah mulai terbiasa.
                Sudah pukul Sembilan malam. Waktu-waktu seperti ini kepala asrama tak mungkin berkeliaran dari kamar ke kamar. Aku menjangkau kotak rokok yang tersembunyi di bawah ranjangku dan cepat-cepat menyulutnya dengan korek kecil dari saku celanaku. Aku menghisap rokokku dalam-dalam dan menghembuskan asap ke wajah Timothy. Ia terbatuk-batuk dan aku suka melihatnya sengsara. Menyakiti terasa begitu menyenangkan.
                Tiba-tiba lampu meredup. Aku panic dan aku tahu Timothy gemetaran. Aku menelungkup di bawah ranjang dan menyembunyikan diriku seperti aku menyembunyikan berkotak-kotak rokok di tempat yang sama.
                Pintu kamarku terbuka. Timothy terlihat sangat gemetar dari bawah ranjang. Aku melihat punting rokokku terjatuh dari genggamannya dan sepatu-sepatu karet tebal membawanya pergi dan seketika lampu menyala kembali. Petugas keamanan membawa Timothy pergi dan aku tak tahu harus bagaimana. Di bulan pertamaku sekolah aku harus menyeret kembali koperku karena ulahku yang memalukan. Aku tak bisa menyerah begitu mudah tanpa membawa hasil apa pun. Seseorang selamatkan aku!! Noa!
                Aku menembus lorong-lorong asrama berusaha menemukan kamar Noa. Dia selalu ada untuk membantuku dan kali ini aku sangat membutuhkan bantuannya. Aku berlari di malam sedingin ini tanpa alas kaki, batu-batu kerikil mencoba menggores telapak kakiku yang bergesekan dengan lantai koridor. Noa bantulah aku!
                Setidaknya yang satu ini benar kamar Noa, aku mengetuk pintunya berkali-kali. Tidak ada jawaban. Ketika kubuka paksa ternyata pintunya tidak terkunci. Aneh.
                “Have a nice holiday. Check some rooms, there are many smooking’s student inside
                “Bodoh!” ujarku kesal. Membanting pandangan ke arah sekeliling kamar Noa yang menipu. Dihiasi ayat-ayat alkitab yang dibingkai manis seperti kamar anak perempuan ditambah kartu ucapan manis yang terpajang cantik di sudut meja. Penipu. Aku tak kuasa menahan tangisku. Aku laki-laki yang sungguh cengeng. Aku tak mampu berbuat apapun lagi kecuali menangis.
***
                Aku berdoa.
                Aku meminta dengan seseorang yang tak mungkin menjanjikan khayalan.
                Aku menyelimuti kekalutan dalam diriku dan berusaha setenang mungkin. Menenangkan diri dengan mengingat senyum terakhir yang berhasil membuatku begitu bahagia. Sungguh aku berlumuran keringat dosa. Aku sungguh bodoh untuk menyesal belakangan.
                Aku terbatuk. Lagi-lagi terbatuk. Kepulan asap rokok telah meracuniku dan lidahku terasa pahit saat tak menghisap batangan-batangan rokok itu. Aku kecanduan dan terus ingin menikmati seluruh batangan rokok yang kumiliki. “Uhuuuk….Uhuuuk” entah sampai kapan aku terus terbatuk. Tenggorokanku terasa kering dan bagian-bagian bibirku menghitam.
                Cermin di depan wajahku memantulkan bayangan seseorang. Siapa dia? Aku dilanda rasa cemas dan tak mampu lagi mengenali bayangan siapa yang terpantul pada cermin di hadapanku. Aku merasa telah lama tak mengenal sosokku. Seseorang yang ku kenal dengan senyum dan ekspresi begitu bersemangat, yang kulihat dari pantulannya hanya wajah lesu dengan bibir kehitaman dan merasa sesuatu yang mengganjal pada paru-paru sehingga sulit bernafas. Aku merasa paru-paruku menyempit. Aku terus terbatuk dan akhirnya kegelapan menguasaiku. Aku tertidur dan mungkin masih terus terbatuk.
***
                Bunda begitu kuat. Dia masih bisa menatapku penuh kelembutan saat tiap cairan dalam suntikan-suntikan itu mencuci bersih paru-paruku. Aku tahu ia benci padaku dan aku tahu aku telah mempermainkan kesempatan yang ia berikan dan aku juga tahu aku ini SANGAT MENGECEWAKAN.
                “Bunda sangat membencimu, nak” ujar bunda di telingaku dan aku tahu dia tidak bercanda. Matanya menatap kosong ujung sepatunya dan tak dibiarkannya setetes air mata mengotori riasan wajahnya.
                “Terlalu lama aku menyayangimu untuk pembalasan seperti ini”.
Bunda pergi. Ia tak pernah bercanda dengan kata-katanya. Ia menjauh dan hilang bersama Fido di kejauhan. Aku tertawa dalam sepi dan batuk-batuk kering menyelingi tawaku.
                “Terlalu lama ya… ha haha ha” aku tertawa dengan perasaan menangis. Kegilaanku pada figure cewek bule telah lama menutup mataku dan menyamarkan jalan yang sebenarnya kuinginkan dan kini telah terlalu jauh untuk memutar arah. Sekarang aku tahu kalau aku salah tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Karena keinginan ini gila dan aku tak bisa lepas dari jeratnya.



















“MIMPI”
Di suatu desa terpencil, hiduplah seorang gadis dari keluarga yang sederhana. Gadis ini bernama Dinda. Dia berumur 16 tahun saat itu. Dinda adalah gadis yang tegar dan baik hati. Hampir setiap harinya Dinda menghadapi cobaan silih berganti, sehingga kadang itu membuatnya putus asa.
                Suatu hari di sekolah barunya,ia berusaha mencari teman baru. Di sekolah itu Dinda hanya pendatang jadi dia belum tahu banyak tentang keadaan sekitar. Setelah cukup lama, ia akhirnya mendapatkan teman duduk, namanya Citra. Citra anaknya baik hati dan ramah namun seringkali humoris.
                Hari demi hari Dinda lewati di sekolah bersama Citra dengan penuh kedamaian berkat persahabatan. Hingga Dinda mulai mengalami gejala yang sering di rasakan remaja pada umumnya. JATUH CINTA. Dinda mulai memusatkan perhatiannya pada sosok yang penuh kesederhanaan pada awal semester 2 tahun pertamanya di SMA. Cowok itu namanya Afandi, siswa kelas XI.
                Namun ketertarikannya hanya dituangkan melalui diamnya. Dinda tak berani menuangkannya melalui tindakan. Citra yang mulai menyadari perubahan dari sahabatnya itu pun mengerti akan apa yang dirasakan Dinda.
                Dinda hanya dapat menatap dan mengagumi sosok itu dari kejauhan.
                “Jadi cuma gini aja usaha kamu???” kata Citra yang memergoki Dinda sedang memperhatikan sosok pujaan hatinya.
                “Maksud kamu???” Tanya Dinda bingung.
                “Ha.ha. kamu ini gimana sih…! Kalau suka yah bilang dong ama orangnya… jangan di diemin…!” jawab Citra memberi saran.
                “Yah nggak mungkinlah…!”
                “Iiih, apa yang nggak mungkin sih…”
                “Nggak ah… ide kamu tuh gila…!” kata Dinda sambil berlalu meninggalkan Citra.
                “Eh, Din tunggu dong…” kata Citra sembari mengejar Dinda yang melangkah masuk kelas.
                “Kenapa sih kamu berharap ama dia… padahalkan diluar sana banyak cowok yang nungguin kamu…” sambung Citra.
                Dinda hanya membalasnya dengan seulas senyuman.
                “Din, kamu yakin mau terus berharap sama cowok itu…?”
                “Citra, saya itu yakin dengan pilihan saya…!” kata Dinda singkat.
                Hanya itu yang dapat Dinda lakukan selama 1 semester terhadap pujaan hatinya. Entah apa yang membuatnya tak berani mengungkapkannya. Entah gengsi atau hal lainnya,hanya dia yang tahu.
                “Din… tunggu dong…!” terdengar seseorang memanggil Dinda, suara itu tak asing baginya. Dinda segera menghentikan langkahnya dan mencari sumber suara itu.
                “Kenapa Cit…?” Tanya Dinda.
                “Gimana nilai raport kamu…?”. Hari itu adalah hari penerimaan raport semester 2 di sekolah mereka.
                “Yah… lumayanlah… kamu sendiri…?”
                “Yah… sama… dikit meningkatlah…” kata Citra panjang lebar.
                Pandangan Dinda kembali terpaku kepada sosok Afandi yang kebetulan berada dekat dengan posisi mereka saat itu. Dinda kelihatan sangat bahagia,,seperti lagunya D’Masiv-Semakin.
Kamu yang kini memikat hatiku
Sungguh ku ingin lebih dekat denganmu
Beri aku waktu
Tuk buktikan kepadamu
Sungguh kuingin memiliki hatimu…
Semakin ku memikirkanmu
Semakin ku menggilaimu
Kau bintang di hatiku
Terangi setiap langkahku….

                “OOOiiiii…..” kata Citra membuyarkan pandangan Dinda. Dinda yang kaget pun menjadi salah tingkah. Semakin menjadi saat Citra terus-menerus menertawainya.
***
                Suatu hari Dinda memutuskan untuk mengikuti kegiatan PA. Di situ dia mendapatkan banyak teman baru. Dia mengisi waktu liburnya dengan kegiatan itu. Waktu demi waktu berlalu dan Dinda semakin akrab dengan teman barunya. Hingga seseorang yang bernama Fadli menghampirinya.
                “Hai Din….” Sapa Fadli.
                “Hai…” jawab Dinda singkat di sertai senyuman.
                “Kamu udah punya pacar belum…?” tanyanya.
                Sejenak Dinda tersenyum dan terdiam. Dia teringat pada sosok Afandi.
                “Din…” panggil Fadli.
                “Aku nggak punya pacar….” Kata Dinda.
                “Hmmm…. Aku kenalin kamu ama temenku, mau nggak?” Tanya Fadli.
                Dinda kembali terdiam.
                “Terserah kamu aja….” Jawab Dinda setelah terdiam beberapa saat.
                “Oke…. Namanya Afandi, kakak kelas kamu kayaknya….!”
                Kata-kata itu membuat Dinda seolah berada di langit ke-7. Seolah dunia berhenti berputar. Hal itu membuatnya tercengang dan terdiam kembali dan lagi. Darahnya seolah berhenti mengalir.
                “Kenapa Din…? Kamu nggak suka ama dia ya…?” Tanya Fadli lagi.
                “Suka kok…” kata itu mengalir begitu saja dari mulutnya. Membuat Fadli tersenyum melihat tingkah anehnya yang kemudian Dinda menjadi salah tingkah lagi. Wajahnya memerah. Dia tak percaya hal ini akan terjadi. Dia tak percaya ada jembatan yang akan membawanya mengenal Afandi yang telah lama ia idolakan lebih dekat lagi.
***
                Akhirnya Dinda melewati hari-harinya dengan penuh kebahagiaan. Dia sebisa mungkin bersikap manis di depan Afandi. Debaran di dadanya semakin tak menentu ketika menatap mata indah Afandi yang penuh cinta. Apalagi saat dia mulai menyadari adanya selah harapan dari pujaan hatinya. Dinda sendiri tak mengerti dengan apa yang dia rasakan. Yang dia tahu adalah bahwa harinya indah bersama Afandi.
                Harapan Dinda semakin besar kepada Afandi saat Afandi mengeluarkan kata-kata bahwa ia merasa sangat kehilangan jika Dinda harus pergi darinya. Rasa yang ada di dalam hati Dinda semakin membara dan bertambah.
                Dinda tidak memperdulikan saat hatinya harus sakit di kala Afandi cuek terhadapnya. Sepertinya cinta sudah membutakannya. Dinda menganggap bahwa sakit hati sejenak tidak sebanding dengan kebahagiaan yang ia rasakan saat bersama Afandi. Ia sudah berjanji dan bertekad akan melakukan apapun untuk Afandi. Termasuk mengikuti ciri cewek idaman Afandi.
                Setelah sekian lama, Dinda tak dapat membendung lagi perasaannya. Dia tak dapat menunggu terlalu lama lagi. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk menyatakan perasaannya kepada Afandi sosok yang ia panggil dengan sebutan “Kakak”.
                Dinda bertekad menyatakannya melalui message, pesan itu tak terlalu panjang, namun di situ terurai semua tentang perasaan Dinda. Di hari itu Dinda menyatakan cinta yang sudah lama dia pendam, tanpa memikirkan manis atau pahit yang akan dia terima nantinya.
                Cukup lama Dinda menunggu jawaban dari semuanya itu. Dan akhirnya tertera pesan dari Afandi. Intinya Afandi menanyakan mengapa Dinda bisa menyukainya. Dinda tak perlu waktu yang lama untuk merangkaikan kata-kata. Karena KESEDERHANAAN Afandilah yang membuatnya selalu terpesona. Setelah itu, Dinda meminta pendapat Fadli tentang Afandi, dengan meneruskan pesan itu pada Fadli. Namun tanpa Dinda sadari hal itu membuat Afandi kecewa. Bahkan mungkin sangat Kecewa.
                Dinda seolah kehabisan kata-kata. Dia tak tahu apa yang telah dan akan dia lakukan.
                Kesalahan itu membuat Dinda kehilangan harapan dan semangat.
                “Dia kecewa ama aku….” Itu adalah kalimat yang selalu terngiang di telinga Dinda.
                Dia duduk termenung seolah raga yang tak bernyawa.
                Dia akhirnya bertekad melupakan semuanya. Satu per satu message dari Afandi dia hapus, hingga kata-kata manis dari Afandi pun terdelete. Dan langkah terakhir yaitu menghapus nomor dan bayangan Afandi selamanya.
                Keesokan harinya, seharian penuh Dinda berusaha sekuat mungkin mulai menjalani hidup tanpa Afandi. Meski itu membuatnya nampak seperti orang yang pasrah akan hidupnya. Namun bayangan Afandi selalu menghantuinya. Semakin Dinda berusaha melupakannya, semakin sulit juga untuk dia lupakan. Hingga hal itu membuat kesehatannya sedikit terganggu. Kesakitan yang Dinda rasakan sangat mendalam. Terlalu sukar untuk di sembuhkan.
                Entah mengapa dia terus menatap handphonenya dan berharap akan ada pesan dari Afandi. Namun kelihatannya semua sia-sia. Air matanya mulai menetes perlahan. Menetes dan terus menumpah. Hingga ia terlelap ke dalam dunia malam yang hening. Saat dia tertidur, barulah pesan dari Afandi masuk. Namun Dinda sudah terlanjur terlelap.
                Paginya… Dinda tercengang membaca pesan dari Afandi yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Harapan itu kembali muncul di benaknya. Harapan akan terbalasnya cintanya. Dengan di sertai senyuman dan dada yang berdebar tak menentu Dinda membalasnya dan menanyakan apa yang ingin di sampaikan Afandi.
                Namun semua itu sirnah dan meninggalkan kecewa lagi dan lagi saat Dinda mengetahui bahwa ternyata Afandi Cuma ingin meminta maaf atas kata-katanya yang terkesan kasar pada Dinda waktu lalu.
                “Sebenarnya aku udah tahu lama kalau kamu suka ama aku… tapi aku pura-pura nggak tahu… aku berusaha suka sama kamu… tapi ternyata nggak segampang yang aku bayangkan….” Kata-kata itu membuat hati Dinda semakin teriris, serasa tak ada alasan untuk hidup lagi. Sangat sakit dan terlalu perih.
                “Kenapa dia nggak bisa sayang ama aku…?” Tanya Dinda pada dirinya sendiri dengan isakan tangis bagai orang yang baru saja kehilangan setengah hidupnya. Dinda tak berdaya lagi. Dia tidak pernah menyesali cintanya pada Afandi, yang Dinda sesalkan, mengapa Afandi selama ini membiarkannya berharap kalau akhirnya akan seperti ini. Mengapa Afandi memberinya beribu kata-kata indah jika akhirnya akan menyakitkan. Mengapa Afandi terus bersikap manis selama ini padanya jika akhirnya Dinda di hempaskan dan terluka. Hanya Afandi yang bisa menjawab semua tanya yang ada.
                Hanya suara tangis yang terdengar. Dia tak menyangka penantiannya selama ini berakhir seperti ini, dia baru menyadari ternyata selama ini dia hanya menantikan Kepedihan, menunggu waktu untuk merasakan sakit hati yang amat sangat mendalam. Dia tenggelam oleh suara tangisnya yang mungkin akan dia bawa sampai dia mati. Dia tak pernah tahu mengapa Afandi tak bisa mencintainya.
 Seperti lagu The Rain-Tolong aku.
                Tolong aku sahabatku dengarkan jerit hatiku
Tentang dia… tentang dia masih slalu tentang dia
Ajak aku bersamamu kemanapun engkau mau
Tenangkan aku.. tenangkan aku
Sabarlah tenangkan aku
Dia pernah membuatku merasa sempurna
Hingga akupun menjanjikan slamanya
Namun ternyata mimpi yang dia punya
Berbeda…. Berbeda….
Aku takkan bisa hidup tanpa dia
Dia yang membuat aku bahagia
Tolong aku untuk melupakan dia
Sungguh hanya itu yang aku pinta…..
               
Tak ada kata yang dapat Dinda ucapkan kecuali menangis dan terus menangis. Dan mencoba menerima kenyataan pahit yang telah diukirkan untuknya.
Karena tangisan itu sudah mewakili kata-kata yang akan Dinda ucapkan.















“SALAH”

Kadang hal yang diharapkan berbenturan dengan kenyataan. Orang menganggapnya sebagai takdir. Di sitiulah perasaan bermakna, salah satunya adalah cinta. Apa yang dialami Gita memang biasa, terjadi pada manusia umumnya. Tetapi ini menjadi luar biasa, ketika ia merasa bahwa simpatinya sebagaimana pungguk merindukan bulan.
Sudah dua minggu ia memendam seribu rasa yang membuat jantungnya berdebar kencang saat melihat sang pujaan hatinya.
“Kita pilih duduk di sini aja. Ayo dong ceritain gebetan barumu,” tiba-tiba terdengar suara serak yang mengusik lamunan Gita.
“Iya... Ri, mumpung kita ngumpul nih,” jawab teman Qori.
“Masak lo main rahasiaan sama geng sendiri,” tutur temannya lagi.
Gita mendadak gugup. Nggak salah lagi itu Qori. Qori dari geng The SERIES, cowok yang sangat dikagumi para cewek-cewek di sekolah.
Gita nyaris nggak bergerak. Menyadari cowok tampan yang sedang ditaksirnya itu ada di meja belakangnya. Saat sedang barengan dengan teman-teman aja Gita sudah nervous .... apalagi sekarang ia sedang sendirian. Tapi untuk yang satu ini, rasa ingin tahunya jauh lebih besar. Dan apa tadi? Mereka lagi ngomong soal gebetannya Qori. Wah..... Wah....
“Jadi bener nih, dia tinggal di jalan Tumbuhan?” tanya teman Qori.
Deg, Gita nyaris tersentak. Bukankah itu jalan tempat ia tinggal? Jalan itukan kecil, jadi ia kenal hampir semua penghuninya. Kayaknya nggak ada yang seumuran dia, rata-rata sudah kuliah dan kerja. Rasa ingin tahunya semakin memuncak.
“Iya, anak kelas satu juga. aku memang naksir dia. Soalnya dia manis banget, pintar dan baik. Pasti dong banyak saingannya. Makanya aku jaga jarak biar dia penasaran,” suara Qori terdengar riang.
Jantung Gita berdegup kencang. Ia semakin yakin , selain dia ngak ada anak kelas satu SMA tinggal di jalan itu. Kalau masalah kecerdasan otak, Gita memang selalu jadi juara satu sejak cawu pertama. Semuanya klop. Mungkin yang dimaksud Qori itu dirinya?.
“Wah, playboy satu ini sudah berketuk lutut. Terus kapan dong kamu nembak dia?” desak temannya.
“Oh my god,” Gita nyaris menahan napas.
“Eh, ngomong-ngomong siapa namanya?” tanya temannya lagi.
“Gita,” jawab Qori.
Kali ini Gita nyaris nggak mampu menahan diri. Ingin rasanya ia melompat dan berteriak, kalau saja nggak ingat di mana dia berada sekarang. Ini benar-benar keajaiban. Qori naksir dia. Berita ini wajib diceritakan pada sohib-sohibnya.
Pukul setengah tujuh malam, semua persiapan sudah sempurna. Sekarang Qori naksir dia. Primadona sekolah itu menyukai gadis biasa seperti dia. Gita bernyanyi bahagia.
“Kamu nggak sedang melamun Git?” kata Intan sambil terkikik.
“Iya Git, jangan-jangan itu cuma halusinasi aja,” timpal Shafina.
Gita pura-pura merengut sambil berucap “Pendengaranku masih normal dan aku nggak bakalan cerita kalau tahu reaksi kalian begini”.
“Bukan begitu Git, Kalau benar Qori naksir kamu, kok bisa tenang-tenang aja sih?” kata Intan dan Shafina.
Ruth mencoba menengahi. “Kan Qori sendiri yang bilang dia sengaja jaga jarak biar surprise”.
“Udah deh, pokoknya mulai besok akan bakal jadi cewek paling bahagia di dunia,” ujar Gita tersenyum bahagia.
Keesokan harinya, bel rumah berbunyi. Dengan ceria Gita menghambur ke pintu, tapi ternyata yang datang Kak Adi, pacarnya mbak Enes. Keduanya lalu pergi, sementara Mama dan Papanya sudah berangkat ke acara resepsi. Di rumah hanya ada Gita dan mbak Tami.
Gita mulai tidang sabar. SEdari tadi sohib-sohibnya terus menelpon dan membuatnya tambah be te.
“Gita bangaun! Kok ketiduran di sini?” suara Mamanya terdengar sayup. Gita membuka matanya, ternyata Mama dan Papanya sudah pulang.
“O ya, Qori! Astaga, setengah sepuluh malam”Gita melonjak. Ternyata Qori tidak datang dari tadi. Gita mulai kebingungan.
Gita akhirnya ikut ajakan orang tuanya untuk mencari makan malam di luar.
“O ya Gita. Mama lupa cerita tentang cucunya Bu Nanda, padahal sudah sebulan lo.
Kapan-kapan kamu main ke sana ya?” tiba-tiba Mamanya bercerita. Gita cuma mengangguk tanpa semangat.
Ketika melewati rumah Bu Nanda, Gita melihat seorang gadis cantik lekuar dari rumah diikuti seorang cowok. “Oh my god”, Gita terkejut bukan main. Berkali-kali dikedipkan matanya, berharap yang dilihatnya itu orang lain. Tapi sia-sia, cowok itu benar-benar Qori. Mereka berdua kelihatan akrab sekali.
Dengan gemetar Gita bertanya pada Mamanya, “siapa nama gadis itu Ma?
“Kebetulan namanya sama dengan kamu .... Gita,” jawab Mamanya.
Gita terkulai menyadari impiannya hancur oleh kebodohannya sendiri. Seharusnya ia mendengarkan ucapan sohibnya. Dan celakanya Gita terlanjur begitu berharap. Dia merasa marah, kecewa dan ... malu sekali.






“APA YANG TERJADI???”
KACAU… KACAU…!!!Kenapa harus cewek itu yang terpikir di otak gue saat ini!!, batin seorang cowok yang sedang mondar-mandir di kamar sambil menggaruk rambutnya.Sudah dari sejam yang lalu ia berjalan seperti itu. Berusaha menjernihkan otaknya dari ingatan-ingatan yang tak pernah sekalipun ia berusaha pertahankan, malah ingatan itu berusaha ia hilangkan. Namun semakin ia berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkannya, ingatan tentang gadis itu malah terus menari-nari.Apa yang bakal dibilang sama temen-temen gue kalo senadainya mereka tau sama siapa gue jatuh cinta? Terus mantan gue? Citra gue di sekolah?, AAAGGH!!...., kembali ia mengacak rambutnya dan menutup wajahnya.Ia kembali teringat saat pertama kali gadis itu hadir di hidupnya.Awal yang singkat. Hanya sebatas dua orang yang sedang terjebak hujan dalam naungan sebuah halte bis. Saling memberi komentar tentang hujan, kemudian berkenalan. Semenjak itulah ia mengetahui bahwa gadis itu bernama Sari.Tanpa disangka, ternyata dihari berikutnya ia dikejutkan oleh hadirnya gadis itu di kelasnya sebagai anak baru. Anehnya hanya dia satu-satunya orang di situ yang tak memendam senyum geli seperti semua teman-temannya. Ia malah tersenyum melihat gadis itu memperkenalkan diri yang dibalas senyuman juga olehnya.Dan di hari-hari setelah itu. Hanya dengan hitungan hari, namanya telah mengisi disetiap penjuru kelas. Tak ada yang tak mengetahui namanya. Bukan karena ia cantik, tapi karena penampilannya yang biasa-biasa saja juga karena kejeniusannya. Belum sebulan ia menetap, namun ia telah mampu mengharumkan nama sekolah dengan 2 piala olimpiade sekaligus yang berhasil ia sabet.Selain itu, dia juga terkenal pendiam, baik hati dan suka menolong. Beberapa kali gadis itu terlihat olehnya sedang membawa berpuluh-puluh buku tugas murid untuk diantarkan keruang guru. Beberapa kali pula ia terlihat olehnya saat selesai latihan basket,gadis itu pulang pada sore hari karena baru saja selesai membantu penjaga sekolah membersihkan seluruh wilayah sekolah.Bila ia ditanya mengapa ia bisa menyukai gadis itu, pasti jawaban pertama yang terlontar adalah karena senyum gadis itu manis. Manis banget. Karena setiap kali mereka berpapasan, gadis itu pasti selalu menyunggingkan senyum lebarnya padanya. Namun….Ia bimbang, baru tadi pagi cewek cantik yang bertitel model itu datang padanya untuk memintanya berbaikan lagi setelah 2 minggu yang lalu mereka putus. Padahal saat disekolah tadi, ia hampir berhasil mengungkapkan isi hatinya pada gadis bernama Sari itu. Tapi tangannya malah langsung ditarik paksa oleh cewek bernama Vira itu.Yang sangat ia sayangkan dari Vira adalah bahwa gadis itu adalah bunga sekolah, berpuluh-puluh cowok ditolaknya mentah-mentah kecuali dirinya, maka sangat pantaslah bila ia menjadi sosok irian teman-temannya. Sangat beruntunglah ia bila mendapatkan sanjungan-sanjungan itu.AAAGGHH!!  Cowok itu menghempaskan tubuhnya kekasur. Dilihatnya kembali foto-foto Sari yang tergeletak begitu saja diatas seprai. Telah beberapa kali ia foto gadis itu tanpa sepengetahuannya. Dari mulai cemberutnya sampai senyum juga tawanya yang membuat ia ikut tersenyum-senyum sendiri saat melihatnya.Yang ia sayangkan dari cewek berkacamata itu adalah penampilannya yang era 70-an. Wajah kusut, rambut acak-acakan dan gaya berpakaiannya yang terkesan sangat rapi.Baiklah……, gue udah memutuskan buat siapa cinta gue besok. Katanya tiba-tiba. Kemudian diambilnya bantal dan guling. Ia beranjak tidur. ****Dengan langkah tegap, ia lewati gerbang sekolah. Kemudian tesenyum pada beberapa kawannya yang ia temui. Hari ini ia telah

membuat keputusan. Ia harus bisa mengatakannya pada orang itu. Dicarinya sosok gadis itu disentail kelas juga koridornya. Tiba-tiba tatapannya jatuh pada seorang gadis yang sedang bercengkrama ria bersama sahabat-sahabatnya di pintu kelas. Dengan cepat dihampirinya ia dan ditariknya tangan lembut itu dengan tergesa-gesa.“Diaz, lo mau bawa gue kemana?” tanya gadis itu bingung.Tanpa menghiraukan pertanyaannya, Diaz tetap menarik tangannya menuju lapangan basket yang ada didepan gedung sekolah mereka. Saat ia telah sampai di tengah, dilpaskannya tangan Vira, lalu ia berbalik menatap matanya. Diaz pun menarik nafas panjang menenangkan gemuruh dihatinya.“gue masih suka sama lo, gue nggak rela lo jadi milik orang lain, makanya gue pengen balikan lagi sama lo.” Akhirnya keluar juga kata-kata itu dari mulutnya sejak tadi pagi ia persiapkan dengan matang.Vira menatap dari balik bulu matanya dengan penuh senang. Akhirnya ia bisa juga mendengar kata-kata itu terlontar dari cowok penggila bola dan basket yang menjadi idaman semua cewek seantero sekolah. Cowok berbadan bidang dengan otak yang luar biasa cemerlang. Ia nggak rela cowok itu lari dari genggamannya. Maka sangat pantaslah saat kemarin siang ia beranikan diri untuk mengajak cowok itu kembali bersamanya.Dengan perlahan namun pasti, ditatapnya tatapan semua teman-temannya yang melihat iri pada mereka berdua. Kemudian dengan senyum merekah, ia menganggukkan kepala.Melihat respon baik dari Vira, Diaz langsung memeluk gadis itu, diikuti oleh tepuk tangan yang terdengar dari sekeliling mereka.Namun tiba-tiba suara Soni yang cempreng berteriak. “woi…., ada mobil limosin!!”Sontak seluruh orang menoleh kea rah dimana tunjukan cowok itu.Seluruh murid yang ada terkagum-kagum saat mobil mewah itu berhenti tepat dihadapan mereka, juga dihadapan Diaz dan Vira. Kemudian dari dalam, keluarlah seorang gadis berambut panjang sebahu yang tergerai. Awalnya mereka mengira gadis cantik itu adalah bintang film yang baru mau masuk sekolah mereka, namun saat mereka meneliti lagi ternyata gadis itu adalah Sari. Sontak mereka semua terkejut tidak terkecuali Diaz yang langsung melepaskan genggaman tangannya dari Vira.“Sari?” sapanya setengah bertanya tak percaya.Gadis yang bernama Sari itu tersenyum saat Diaz memanggil namanya. Kemudian dihampirinya cowok itu. Sari mengulurkan tangan. Diaz pun menjabatnya.“sebelumnya maaf karena aku telah menyukaimu selama sebulan ini. Dan aku juga ingin mengucapkan terima kasih atas cinta yang pernah kamu ajarkan buat aku, walaupun kamu nggak pernah tau bahwa aku jatuh cinta sama kamu saat pertama kali kita bertemu dihalte itu. Hingga aku berbuat nekat memohon pada ayah, agar aku diizinkan untuk bersekolah disekolah yang sama denganmu sebulan selama liburku di sekolah. Aku hanya ingin mengenalmu. Dan ternyata dugaanku benar bahwa kamu bukan tipe orang yang hanya melihat penampilan fisik seseorang, melainkan hatinya. Kamu nggak pernah sekalipun tertawa saat semua orang mengejekku karena penampilan udikku. Sebaliknya, kamu malah selalu tersenyum ramah setiap kita bertemu.” Katanya panjang lebar.“awalnya aku berfikir bahwa dengan kecantikan, aku bisa membeli cinta dan persahabatan. Tapi ternyata dugaanku salah. Ternyata saat aku buruk rupapun masih ada orang yang melihat aku dengan tidak hanya sebelah mata. Dan orang itu adalah kamu.”Sari menatap Vira yang cemberut dibelakang, memendam kekesalannya. “tapi tenang aja, aku nggak kan mengganggu kalian lagi. Aku hanya ingin mengucapkan kata perpisahan sebelum aku pergi ke Ausie karena liburanku yng udah berakhir. Aku harap kalian berdua nggak akan terpisahkan lagi.”Lalu ia menatap teman-temannya bergantian. “terima kasih ya karena kalian udah mengajarkan ku bahwa persahabatan itu bukan dilihat dari penampilan, tetapi dari hati.” Tatapannya kembali beralih ke Diaz. “selamat tinggal Diaz.” Katanya sambil melepaskan genggaman tangannya.Akhirnya Sari kembali masuk ke dalam mobil limosinnya, yang kemudian mobil itu pergi dari pelataran sekolah.Diaz hanya diam mematung. Berusaha memahami bahwa ini semua bukan mimpi. Ia masih diam saat Vira memanggil namanya.Dalam hati, ia kembali terngiang-ngiang akan kata-kata Sari. Kamu bukan tipe orang yang hanya melihat penampilan fisk seseorang, melainkan hatinya….. kamu bukan tipe orang yang hanya melihat penampilan fisik seseorang, melainkan hatinya……Diaz menggeleng perlahan. Kamu salah Sari… kamu salah….Kemudian dunia berputar disekelilingnya. Lalu gelap.Hal yang terakhir ia dengar hanyalah suara jeritan Vira yang memanggil-manggil namanya.





















Penggemar Rahasia


Indahnya rembulan tak seindah senyummu
Putihnya awan tak seputih kulitmu
Dikala kau tersenyum ….
Dunia pun bagai dibawah bibirmu
Bibir Sasa manyun 3 cm setelah membaca puisi yang tergeletak diatas mejanya.
“Surat dari penggemar lo lag Sa?” Suara Vina mengagetkan Sasa yang lagi bingung mendangiri itu puisi.
“Ya iyalah ….! Siapa lagi ? Gowe jadi enak liatin isi puisi. Coba dech loe baca” Sasa menyodorkan selembar kertas pink plus amplop berbentuk kah kepada Vina. Kontan saja Vina langsung tersenyum sendiri membaca puisi itu.
“Lucu juga ne cowo! Klo ga salah ne udah yang ke 143 kan? Gile juga ne cowo”. Hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kenapa go loe selidikin adz ne cowo, ato loe gebet aze, siapa tau cakep he he he”.
“Tau ah! ga penting banget tau ga! Aku ga peduli yang gowe peduliin tu cuman ka Erick, yang lain NO WAY” Tangan Sasa bergerak kya polisi lagi ngatur jalan. Vina cuman cekikikan ngeliat gaya Sasa yang ga jelas itu.
*******
“Kri…..ng” Bel istirahat sudah berbunyi. Kya orang di kejar hansip Sasa buru-buru keluar kelas. Tapi baru sampe didepan pintu kelas ia menepuk jidadnya dan berlari-lari kembali lagi. Bahwa mengambil arsip-arsip OSIS yang ketinggalan ditasnya. Tak lupa pula ia membetulkan dandanannya. Vina sampe bingung dibuatnya. Tapi dia maklum ada melihat orang yang gi kena panah cinta itu. Apapun bakalan dilakuin coy….!
“Selang beberapa detik kemudian si Ketua OSIS yang cakep abis itu sudah muncul didepan kelas X1. Muka Sasa langsung berubah merah padam.
“Ne kak surat undangannya” Jangan sasa gemeteran. Vanya jadi ikutan gugup ngeliatnya. Ya….. takut-takut klo Sasa ngelakuin hal-hal yang memalukan kya kemarin. Sempet-sempetnya dia pake acara kepeleset segala gara-gara gugup ketemu Erick.
“Oh makasih! Kamu baek baget sudah ngerjain ini semua. Padahal inikan tugas aku”.
“Oh ga pa-pa kok, aku seneng, lagian kakakku jangan baru pulang dari olimpiade. Masuk di Australi, jadi kakak pasti sibu banget”.
“Sebagai imbalannya gimana klo sekarang kamu aku terakhir makan dikantin sekolah”, Erick mengelus rambut Sasa yang panjang terurai.
Tentu saja kesempatan besar dan langka ini ga bakalan Sasa sia-siakan. Apalagi mengingat Erick yang sudah kelas 3 dan bakalan lulus. Mana menurut kabar Erick sudah dapat beasiswa buat kuliah di Oxport University, jurusan kedokteran lagi.
*******
Setiap malam ku termenung memikirkanmu
Tiap detik tanpamu semakin menyakitiku
Kupersembahkan mawar ini untukmu
Agar kau selalu teringat padaku.
Kali ini Sasa benar-benar pusing dibuatnya “ya ampun, kenapa jadi pake bunga-bunga segala sech, gowe buang aja dech”.
Ucap Sasa sambil memegang setangkai mawah merah yang ya…… sebenarnya bagus sech. Buru-buru Vina yang kebetulan baru datang langsung memegang tangan Sasa.
“Eit ! Jangan donk! Kan bunganya bagus, lagian kita itu kudu ngormatin orang yang udah nyayangin kita. Kan masih untung ada orang yang mau sayang ama kita, Emank sech loe to dah banyak penggemarnya tapi hormatin dong penggemar loe”.
“Iye…..iye!, ibu ustadzah! Nech buat loe aja dech”.
“Jangan donk! kan loe yang dikasih, Eh tapi ngomong-ngomong gowe penasaran banget ama ne cowo. Kira can tau yuk !”. Aja Vina bersemangat.
“Ga ah! buang-buang waktu aja, loa sendiri tau kan klo gowe tuch sayang banget ama ka Erick, makanya gw bela-belain masuk SMA NUSANTARA ini buat ngeliatin dia. Sejak SD gwe dah suka banget ma dia, dia cinta pertama gwe”.
“Iya gwe tau! Tapi apa loe ga penasaran ma ne cowo! Ngebetnya setengah mampus ama loe! Kita ga bakal ngapa-ngapain kok, gwe janji ! Gt cman nyari tau abes itu udah….!” Mulut Vina komat-kamit dari tadi kaya dukun. Sasa diam sejenak dan mencoba mempertimbangkan saran Vina lalu dia mengangguk.
“Ok dech! Gowe penasaran juga sech, tapi gimana caranya?”
“Loe nanya gowe? Manaketehe, loe pikiran dech ntar gowe bantu doa”.
“Huh, Dasar loe!” Sasa memencet hidung Vina”.
“Gini aja, gimana klo kita balik ke sekolah ntar sore, nah kita liat dech siapa kaka kelas yang duduk di bangku gowe ini, Sapa tau dia salah satu anak kelas 3 yang masuk sore, gimana!”.
“Ok dech, pintar juga loe!” Vina mengacungkan kedua jempolnya.
*******
Sore pun menjelang. Sekolah masih terlihat ramai oleh anak-anak kelas 3 yang memang masuk sore. Sasa dan Vina tampak resah menunggu didalam mobil. Karena ga tahan lagi akhirnya Vina keluar mobil. Sasa yang bingung melihat sikap Vina yang seperti orang mati penasaran jangan ikut-ikutan keluar.
“Vin ! tungguin gw donk” Sasa buru-buru mengejar Vina tapi Vina terus saja berlari. Walaupun sudah berkali-kali dipanggil tapi Vina tak peduli. Dengan heran Sasa terus mengejar Vina. Akhirnya dengan bersusah payah tangan Vina bisa dia tarik saat didepan WC siswa.
“Loe ngapain ikut-ikutan gowe”, Vina heran.
“Loe juga kenapa ninggalin gowe, gara-gara ngebet pengen liat tu cowo sendiriankan! Tuh dasar loe pelit” Mulut Sasa yang mungil manyun.
“Gowe kebelet pipis makanya gowe lari kan, AWAS jangan ngalahgin gw, loe mau gw kencing disini” ucap Vina pusing.
“O….Sorry…” Sasa jadi malu sendiri……
Sudah hampir satu jam mereka mengelilingi sekolah tapi tidak ada tanda-tanda atau gelagat-gelagat menanyakan dari cowo-cowo disana. Dan betapa kecewanya mereka karena ternyata yang duduk dibangku Sasa adalah seorang cewe.
Mereka mencoba menanyakan apakah ia pernah melihat cowo meletakkan surat di meja itu tapi cuman gelengan kepala yang mereka dapat. “Gowe disini ampe jam 08.00 malam, tapi ga ada tuch” ucapnya sambil mengerdipkan mata ke Vina. Baru-baru mereka menjauhi cewe tadi. Akhirnya dengan langkah gontai Sasa dan Vina berjalan keluar dari gerbang sekolah. Vina langsung ngeri sendiri ngeliatnya.
“Eh Sa! apa mungkin cowo itu ngelekatin surat-surat buat loe pas pagi buka kali ya! Vina mencoba menebak.
“Kyanya ga mungkin dech, gw dah sering nyoba datang ke skul subuh-subuh tapi ne surat dah ada duluan”.
“Apa ? katanya lo ga peduli, tapi nyatanya lo nyantau juga ya ya dari dulu.., hu dasar loe” Vina mencubit pipi Sasa yang anti jerawat. Sasa cuman cekikikan, malu…..
“Atau jangan-jangan cewe lesbi tadi yang girim surat ke loe ! Tambah Vina.
“Hi……” Mereka berdua begidik. Terus berlarian ke mobil.
Tapi langkah mereka terhenti ketika sampai di parkiran sesosok cewe cantik, tinggi bersama teman-temannya sudah berdiri disamping mobil. Sasa dan Vina saling menatap sejenak. Mereka agak heran dengan gelagat para cewe ini yang sepertinya kurang bersahabat.
“Heh! Loe kan yang namanya Sasa!”
Cewe itu menantang. Dia agak takut Sasa mengangguk. Tiba-tiba tangan cewe itu sudah memegang wajah sasa dengan kasar.
Vina tidak bisa menolong karena teman-teman satu gengnya dah duluan mencegat dia.
“Eh cewe kegatelan” Ucapnya kasar” gw bilangin ya ama loe, nama gw Karina, Pacar Erick ! Gw dengar loe dekat ama dia. Eh! loe jangan sok kegatelan dech pake acara ngerayu pacar orang segala lagi. Baru juga anak ingusan/ kelas 1 udah berani macem-macem ama ka kelas ! Ingat ya ! Sekali lagi gw dengar / liat toe nemuin Erick, gw bakalan bikin hidup loe menderita ! Ngerti loe !
Setelah puas memaki-maki Sasa mereka memasuki mobil Honda Jass biru lalu melesat kencang. Tak lupa pula mereka melambaikan tangan pada Sasa.
Tanpa sadar Sasa sudah meneteskan air mata. Segera Vina memeluk Sasa yang terlihat sangat syok dan terpukul.
“Gw ga nyangka ternyata ka Erick bohong ama gw, dia bilang ga punya pacar, dia bilang belum mau pacaran, katanya dia mau sekolah dulu, katanya….” Belum sempat ia meneruskan ucapannya air matanya sudah tumpah di pelukan.
Vina. Vina tidak bisa berkata apa-apa. Dia sendiri jangan terkejut dengan kejadian tadi. Dengan perlahan dia mengajak Sasa pulang.
3 hari sudah berlalu sejak kejadian itu. Tapi sampai sekarang Sasa belum menunjukkan batang hidungnya di sekolah. Vina sangat khawatir. Apalagi saat ditelpon Sasa selalu tidak mau menjawab. Dan seperti biasanya surat dari penggemarnya itu terus saja datang. Vina hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan sahabatnya ini. Sedangkan Erik sendiri terlihat kebingungan buat mengurus arsip-arsip OSIS karena kebetulan Sasa itu sekretarisnya.
“Eh Vin! Sasa ga masuk ya ?” Tanya Erick yang kebetulan datang ke sekolah entah untuk urusan apa. Dengan cuek Vina lewat saja didepannya. Erick yang bingung dengan perubahan sikap Vina ini buru-buru mengejarnya. Vin ! kamu denger ga sech?” Panggilnya sekali lagi. Tapi Vina tetap ga peduli. Erick segera menarik lengannya. Akhirnya dengan segolan 3 piring bakso, 2 es jeruk dan soft drink lainnya Vina mau menceritakan yang sebenarnya.
“Kaka mau tau kenapa Sasa ga masuk” Ucapnya marah “ itu soree gara-gara pacar-pacar ka-ka yang bernama K-A-R-I-N-A itu. Dia ngancam Sasa habis-habisan belum lagi ucapannya yang kasar, sampai bawa-bawa golok segala lagi” Panjang lebar Vina menceritakan kekesalahannya. Entah itu disertai dengan bumbu-bumbu yang dilebih-lebihkan. Dia sendiri saking keselnya ga sadar dengan tambahan ceritanya yang mengatakan bahwa Sasa ditampar, ditendang, terus dicubit-cubit.
“Sudahkan! Klo gitu gw ke kelas dulu. Cape gw ngomong ucap Vina yang cuek aja tanpa perasaan bersalah menghabiskan seluruh isi kantin. Erick sendiri terlihat sangat marah dan kesal dengan kejadian itu. Ia pun buru-buru pergi, Vina aman mengangkat bahu.
*******
Wajah Vina menjadi cerah karena keesokan harinya Sasa sudah masuk sekolah.
“Akhirnya…….! Loe masuk juga” Vina merangkul Sasa.
“Gimana? Sekarang lo dah roda-roda baikan?” Tambahnya.
Sasa mengangguk pelan. “Lumayan …..! Dan sekarang gw dah mutusin buat ngelupain ka Erick yang pembohong itu”.
“Nah gt donk! Itu baru namanya sahabat gw!, BTW tuch surat dari penggemar loe dah numpuk, buka donk, gw mau liat isinya. End kadonya dibuka juga ya”. Tanpa pikir panjang Sasa membuka semua surat-surat itu sambil tersenyum dia menunjukkan surat yang terakhir pada Vina.
“Dia ngajak ketemuan ?” Tanya Vina terkejut.
“Iya ! heh akhirnya dia mau nunjukin sosok aslinya juga”.
“Iya Sa ! lebih baik kamu temuin aja dia, lebih baik loe buka hati loe buat orang yang tulus sayang ama loe, ga kya Erick yang gombal itu” Wajah Vina berubah serem kya mak lampir. Sasa jadi takut ngeliatnya. “Eh coba liat kadonya” Sasa antusias.
“Ini kan sweater yang dari luar negeri itu. Loe aja ga dikasih oleh-oleh apa-apa sama ka Erick waktu dia pulang dari Australia”.
Sasa aman bisa manyun.
“Akan gw coba buat ngebuka hati gw buat cowo laen. Walaupun jujur, hati gw masih punya dia”.
*******
Sepulang sekolah Sasa dan Vina datang ke kafe yang sudah dijanjikan. Mereka segera menuju meja dipojok bernomor 5 yang memang sudah dipesan.
Betapa terkejutnya Sasa saat melihat sosok pria tampan yang berdiri dihadapannya. Cowo yang selama ini mengirim surat kepadanya, yang setia mengirimnya puisi, yang tulus menyayanginya ternyata “Ka Erick?” Ucap Sasa terbata-bata. Nafasnya seakan-akan terasa terhenti. Ada perasaan bahagia dibenaknya karena ternyata ceritanya tak bertepuk sebelah tangan. Tapi perasaan itu baru-baru ditepisnya. Ingatannya kembali melayang ke kejadian yang menyakitkan itu. Tanpa pikir panjang Sasa melangkah pergi. Namun buru-buru Erik menarik tangannya.
“Sa ! dengarkan aku dulu !” Ucap Erick. Tapi ia malah menangis sambil mencoba melepaskan pegangan Erick”. Lepasin ! Ka-ka itu pembohong”. Jangan ganggu aku, lebih baik urus pacar kaka sendiri”. Tapi enak malah memeluknya. Sasa mencoba berontak.
“Walaupun akhirnya ia mulai bisa tenang.
“Dengarkan aku! Karena bukan pacar aku, ia aja yang ngaku-ngakunya begitu. Tapi kamu tenang aja dia sudah aku peringatkan untuk tidak menyentuh sehelai rambut mu pun, klo ga percaya tanya aja sama temen-temen ku”.
“Aku ga percaya” Emank ka-ka ngancam apa”.
“Beneran! Aku peringatin dia agar jangan mengganggu kamu lagi. Klo ga dia bakalan nyesel dan perusahaan bapaknya yang selalu dibantu dana dari ayahku bakalan hancur. Karena ia sudah berani mengganggu cewe aku”.
Wajah Sasa jadi merah padam.
“Siapa juga yang mau jadi cewe ka-ka!” Ucapnya malu.
“Lagian kok pake bawa bokap segala sech”.
“Ya…..itu terpaksa. Karina itu paling takut miskin jadi hanya itu satu-satunya cara biar cewe ku ga dia ganggu”.
“Siapa bilang aku mau”.
“Benarkah! Klo gitu….maukah tuan putri ini menjadi kekasihku”. Erick berlutut sambil menyerahkan setangkai bunga lili, kesukaan Sasa. Dengan wajah yang masih merah padam Sasa mengangguk.
Mereka saling bertatapan. Mereka tidak memerdulikan lagi Vina dan seluruh pengunjung kafe yang kebenaran melihat cinta pada anak muda ini.