SAHABAT UNTUK
SELAMANYA
Teng…teng.. Lonceng
berbunyi.
Semua murid menuju
ke lapangan untuk melaksanakan ritual yang gak asing lagi pada hari senin yaitu
upacara bendera, upacara hari senin itu, Aku mendapat giliran jadi petugas
penjaga, Rey , Delon, Joey dan Chris juga menjadi petugas. Kami
berlima adalah sahabat sejak kelas 1 SMP, dan sekarang kami duduk di kelas 3
SMP.
Upacara selesai,
semua peserta bergegas menuju kelasnya masing-masing. Begitupun kami. Kami
segera beranjak meninggalkan lapangan upacara.
“Rey... Lo nggak
lupa bawa buku gue yang lo pinjam kemarin kan?” tanyaku kepada Rey saat dalam
perjalanan.
“Akhh... Sorry
Bryan, gue lupa... Entar gue anterin deh ke rumah lo....”
“Yaudah deh gak
apa-apa...”
“Ssst... Tuh cewek
cakep yah...” kata Joey mengganti topik pembicaraan di antara kami sambil
menunjuk ke arah selatan dari posisi kami saat itu.
Serentak kami
mengikuti arah yang dimaksudnya.
“Vina...”kataku
dalam hati.
“Yaaa.... Itukan
pacar gue...” Chris nyerocos.
“Uuuuuuuuuuuuu”
ejek kami serentak disusul dengan tawa.
Yah, itulah kami.
Penuh dengan inspirasi dan canda tawa.
***
Beberapa minggu
kemudian...
“Hai Vin...” sapaku
pada Vina saat bertemu dengannya sepulang sekolah. Cewek yang telah lama
mengambil posisi tersendiri di hatiku ini merupakan kembang sekolah. Selain
kaya, ia juga pintar dan ramah.
“Hai juga
Bryan...”balasnya disertai seulas senyuman terindah yang belum pernah ku
dapatkan selama ini. Dia mampu membuatku geregetan.
“Aku anterin kamu
yah... Kebetulan kan kita searah...” aku menawarkan tumpangan. Berharap ini
sebagai awal yang baik.
Tak ada jawaban...
...
“Mmmm... Boleh
deh...” akhirnya.
“Yeaaaaaah....”teriak
hatiku.
Dalam perjalanan
aku tak pernah berhenti berharap agar waktu tak cepat berlalu. Bersamanya
seolah berada di nirwana. Sangat indah.
***
“Hai guys...”
sapaku ketika ke esokan harinya di sekolah kepada keempat sahabat karibku.
Sepertinya mereka
dapat membaca kebahagiaan yang sedang aku rasakan.
“Kenapa lo? Abis
menang undian...?” tanya Delon dengan kebingungan.
Belum sempat aku
menjawab pertanyaan Delon, Joey yang kelihatannya canggung dengan keadaan itu
langsung bergegas pergi tanpa meninggalkan sepatah katapun. Perhatian pun
teralih.
***
“Eh... Kenapa ya
kok belakangan ini Joey jarang ngumpul bareng kita lagi?” kataku membuka
pembicaraan saat kami tengah berada di kantin sekolah sembari mengingat
kejadian beberapa hari yang lalu. Awal berubahnya Joey.
Sejenak kami
terdiam. Memang akhir-akhir ini Joey berubah aneh. Sepertinya dia berusaha
menghindar dari kami atau mungkin ada sesuatu yang dia sembunyikan.
“Apa dia ada
masalah...?” sambung Chris mencoba seserius mungkin.
“Tapi kenapa dia
nggak cerita ke kita coba...?” kataku lagi.
Kebingungan melanda
kami sejenak. Kami mencoba menerka apa yang sebenarnya terjadi. Namun tak
kunjung kami temui jawaban dari semuanya itu. Boleh dikatakan di antara kami
berlima, Joey-lah yang paling tertutup. Ia selalu sungkan menceritakan apa yang
terjadi pada hidup dan kehidupannya. Kami pun tak dapat memaksanya untuk
berbagi cerita.
Karena waktu istirahat dibatasi, kami tak bisa
berlama-lama berada di kantin. Saat lonceng yang menandakan berakhirnya jam
istirahat berbunyi, kami segera bergegas meninggalkan tempat tersebut.
Saat
hendak memasuki ruangan kelas, aku sempat melihat Joey yang sedang mojok. Tanpa
memberi konfirmasi berlanjut kepada Chris, Delon dan Rey, aku segera beranjak
menemuinya dengan maksud mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.
“Perjalanan
hidup itu nggak selamanya mulus Joey... Dunia pasti berputar... Ada saatnya
kita harus berubah...” kataku tanpa berbasa-basi. Aku seperti dapat membaca
sedikit persoalan yang tersirat pada raut wajah Joey.
Joey
masih diam. Aku berusaha terus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi
padanya. Namun sepertinya terlalu sulit. Ia masih bertahan dengan sikapnya.
“Jalani
apa yang udah jadi takdir... Lo nggak mungkin bisa ngehindar dari takdir...
Sekalipun lo ngehindarin takdir, itu sama aja lo ngejalanin takdir yang lain
yang emang udah Tuhan siapin buat lo..” aku masih terus berusaha membuat Joey
mengerti.
Namun
sepertinya aku salah. Joey sama sekali tidak menggubrisku.
Aku
menahan omonganku, menunggu reaksi darinya.
....
Kesekian
kalinya aku gagal. Dia malah berlalu meninggalkanku.
“Joey...
Awal yang bahagia akan muncul setelah akhir yang suram...” teriakku.
Ia
tetap berlalu dengan diamnya.
***
Entah apa yang
sedang direncanakan Tuhan saat ini dan betapa aku mengutuk takdir yang telah
tertulis. Dengan diiringi rangkaian nada yang menjadi lagu indah dari Last
Child-Percayalah, aku berusaha mengalihkan pikiranku, namun tak menunjukkan
sedikitpun hasil yang bermakna. Aku masih penasaran dengan Joey. Entah apa yang
membuatnya begitu tertutup dari kami.
Pemikiranku
terhenti oleh dering handphone di sampingku. Tertera nama Rey dalam panggilan.
Tanpa berpikir panjang, aku segera mengangkatnya.
“Halo... Kenapa
Rey?” spontanku.
“Lo dimana Yan...?”
“Di rumah ni...
Kenapa?”
“Lo sekarang ke
Rumah Sakit Kartini yah... Sekarang... Gue, Delon ama Chris udah stand by di
sini...”
“Loh? Emangnya
siapa yang sakit...?” tanyaku kebingungan.
“Entar aja deh
ceritanya... Lo buruan yah...”
Telepon terputus.
Aku segera
mengambil jacket dan menyalakan motorku lalu meluncur ke tujuan yang
dimaksudkan oleh Rey.
.......
Dari kejauhan aku
dapat mengenali Rey, Delon dan Chris yang sepertinya memang telah menantiku
sejak tadi.
Setelah memarkir
motorku, tanpa membuang waktu aku berlari menuju arah mereka.
“Ada apa
sebenernya...? Siapa yang sakit...? Bokap gue? Nyokap gue?” kataku panik.
“Yan, tenang Yan...
Ini bukan soal bokap atau nyokap lo...” jawab Delon.
“Lah..? Terus..?”
aku semakin bingung.
“Ini soal Joey...”
jawab Chris.
Aku bingung,
penasaran dan terdiam menunggu penjelasan mereka.
“Nyokapnya Joey
masuk UGD... Bokap nyokapnya konflik lagi...” mendengar penuturan dari Rey, aku
seperti baru saja memecahkan misteri dunia yang tersimpan 1000 tahun lalu. Ada
perasaan lega, tapi...
“Konflik...?”
tanyaku dalam hati.
“Konflik apa...?
Terus kalian tahu dari mana...?” akhirnya aku bertanya.
“Jadi beberapa hari
ini tuh, kami bertiga nyari tahu tentang masalahnya Joey... Terus tadi pagi
kita ke rumahnya, kata Bang Umang, Joey lagi nungguin mamanya di sini, makanya
kita buru-buru ke sini untuk mastiin...” Delon menjelaskan.
“Terus Joey-nya
mana...?” sambil memutar tubuhku berusaha mencari sosok itu.
“Maka dari itu...
Dari tadi kami cariin tapi nggak ketemu...” Rey mulai gelisah.
“Dan masih ada satu
masalah lagi...” sambung Delon.
“Joey juga jealous
ama kedekatan lo dengan Vina...” kata Chris.
“Apa...?” aku
tersentak.
Aku berpikir. “Jadi
selama ini Joey suka ama Vina? Dan.... hahahaa” aku bingung.
Sementara itu,
pikiranku juga masih terus berusaha mencerna penjelasan pertama Delon.
“Dalam masalah
serumit ini, kenapa Joey lebih memilih untuk memendamnya sendiri?” hatiku
bertanya. “Dan mengapa ia tak pernah menyampaikan bahwa ia mempunyai rasa
kepada Vina?”
“Joey...” teriak
Chris yang sepertinya mendapati Joey. Aku segera mengikuti arah mata mereka. Ku
dapati Joey yang tengah berjalan ke arah pintu Rumah Sakit sebelah Barat.
Dengan setengah
berlari, kami berusaha menghentikannya, namun ternyata dia masih tetap cuek.
Dengan sikapnya
yang demikian, malah sempat terbesit di
benakku bahwa mungkin ia sama sekali tak pernah menganggap kami ini sahabat.
“Joey... Lo ini kenapa
sih? Kenapa lo ngehindar dari kita?” Delon menghentikan langkahnya tepat di
depan Joey.
Tak ada jawaban.
“Lo nggak bisa
ngomong?” Delon mulai emosi.
Joey masih diam.
“Apa sih yang ada
di pikiran lo?? Kenapa lo terlalu egois??” aku pun angkat bicara.
“Kita semua
nganggap lo sahabat, bahkan saudara.. Tapi ternyata gini sikap lo? Lo sama
sekali nggak nghargain kita... Lo nggak pernah tahukan gimana khawatirnya
kami...? Lo nggak tahu karena lo nggak pernah mau berbagi cerita...” sambungku.
“Apa sih mau lo?”
sambung Delon.
“Gue nggak cerita
karena kalian nggak akan ngerti apa yang gue rasain... Dan Yan, bukan gue yang
egois, tapi lo...” Joey akhirnya berhenti dari kediamannya.
“Nggak mungkin kita
nggak ngerti... Kenapa lo nggak pernah ngomong ke Vina? Terus apa lo tau, kalo
gue sebelumnya nggak tau tentang perasaan lo ke Vina?” bantahku.
Sederet
pertengkaran pun terjadi.
“Cukup... Apa-apaan
ini... Kenapa justru kalian yang bertengkar...?” Rey dan Chris berusaha
melerai.
“Apa hanya karena
cewek kalian mau ngerusak persahabatan kita...?” sambung Chris.
“Kalian ingat nggak
ikrar persahabatan kita?? Ingat nggak??” Rey berkomentar.
“Lalu untuk apa
kita bersahabat kalo kejadiannya justru seperti ini???” sambungnya.
Kata-kata itu
menyadarkanku. Untuk apa bertengkar? Aku lalu menatap Joey dalam. Terlintas di
benakku penderitaan yang ia alami selama ini, apa aku harus menambahnya?
Sejahat itukah aku? Dan Vina... Apa aku yang terlalu egois?
Hati nurani
memaksaku untuk merangkul Joey keluar dari permasalahannya, itu yang seharusnya
ku lakukan.
Kami lalu
termenung. Mengingat semua kebersamaan yang telah kami lalui selama ini, apa
semuanya harus berakhir...
Tidaak..
Nuraniku
memberontak.
“Joey... Kita
berempat sayang ama lo... Kita udah nganggap lo saudara kami sendiri... Kita
pengen lo terbuka... Nggak ada yang perlu lo sembunyiin... Kalo lo ada masalah,
kita pasti bantuin lo kok... Nggak ada masalah yang nggak bisa diselesein...
Dan soal Vina, gue Cuma kagum ama dia... Nggak lebih...” kataku panjang lebar
disertai tatapan sebagai tanda ketulusan. Namun kalimat terakhir itu, tak
pernah aku inginkan. Tapi secepat kilat aku kembali menghapus keegoisanku.
“Maafin aku
teman-teman... Aku nggak bermaksud gitu... Aku juga nggak pengen ngerepotin
kalian... Lagipula inikan masalah keluarga kami... Soal Vina, aku udah nggak
masalahin itu...” Joey memberi penjelasan.
“Nggak ada sahabat
yang ngerepotin... Lagian, keluarga lo kan keluarga kita juga...” Chris memulai
lawakannya.
Dalam sekejap
persahabatan kami kembali indah.
Dengan canda tawa
yang penuh gairah kami berjalan menyusuri koridor Rumah Sakit menuju ruang
tempat orang tua Joey berada. Namun belum sempat mendekati ruangan orang tua
Joey, Chris yang sedari tadi mendahului kami memberikan isyarat untuk tidak
masuk ke ruangan itu.
“Kenapa?” kami kebingungan.
“Ada yang lagi
pacaran di dalam...” katanya sambil menunjuk ke arah ruangan tersebut disertai
tawa. Sepertinya ada efek positif daru peristiwa masuknya ibunda Joey ke Rumah
Sakit.
Serentak kami
mengangguk mengerti apa yang dikatakan Chris.
Terpancar raut
kebahagiaan di wajah Joey. Aku dapat merasakannya. Seketika bebannya terangkat.
Joey telah kembali. Lima serangkai kembali bersama.
Kalimat itu memang
terbukti benar.
AWAL YANG BAHAGIA
AKAN MUNCUL SETELAH AKHIR YANG SURAM.
“SEBUAH KEPUTUSAN”
Kriiiiing….. Bunyi
jam weker di kamarku yang menandakan udah waktunya aku bangun.
“Eril! Eril, bangun! Sekolah!”
kata mama membangunkanku yang, masih saja meringkuk tidur di kamarku yang
terkesan “indah”. Bagaimana tidak, kamarku itu sangat tidak tertata, bahkan
lebih pantas dikatakan gudang.
“Masih ngantuk, Ma…!” kataku
sambil memperbaiki posisi tidurku.
“Bangun…! Sekolah kamu tuh
dibayar…! Mau jadi apa kamu kalau gini terus…!”
“Ma, Eril…” aku belum sempat
ngomong, malah mama udah narik badan aku.
“Bangun…” kata mama lagi.
“Iya… iya…” jawabku sambil
mencoba beranjak dari tidurku dan menuju kamar mandi untuk melaksanakan
ritual yang selalu aku lakukan setiap
hari. Setelah itu aku berpakaian dan bercermin. Tapi bayangan yang aku lihat
selalu saja sama setiap harinya, nggak ada yang istimewa.
“Pagi, Ril…” sapa Andi, salah
satu sahabatku.
“Pagi juga, Ndi…!” balasku
singkat sebelum akhirnya kami masuk kelas.
Hari-hariku di sekolah selalu
sama, nggak pernah berubah, membosankan. Yang ada di benakku hanya ingin pulang
dan tidur.
“Siang, Ma…!” sapaku sepulang
sekolah saat berpapasan dengan mama yang lagi nonton.
“Siang juga, sayang…! Cepet amat
pulangnya…” balas mama lembut sambil terus menatap layar monitor Tv.
“Dari pada telat pulang kan
mending kecepetan, Ma…!” kataku sembari melangkah menuju kamarku.
Aku nggak keluar kamar setelah
makan siang, lagi bad mood jalan hari itu.
“Ril… Eril…!” panggil Vita,
sepupuku. Dia cantik, lebih banyak tau soal fashion ketimbang aku yang tampil
gini-gini aja.
“Langsung masuk aja…” jawabku
singkat.
“Lo mandi gih…!” katanya sambil
berbaring di sisi kanan tempat tidurku.
“Mau kemana emangnya…?” tanyaku
bingung.
“Ibadah…” katanya lagi. Tanpa
banyak koment aku langsung melaksanakannya. Itung-itung ngisi waktu yang
kosong, kataku dalam hati.
“Cabut yuk…!” kataku setelah
selesai bersiap-siap. Kostumku nggak berubah dari hari ke hari biasanya saat
ingin keluar, celana jeans, kaos di baluti jaket, dan sepatu kets.
“Ya ela… lo itu nggak pernah
berubah yah…!” katanya mengomentari penampilanku. Selanjutnya ia tak
berkata-kata lagi, karena aku sudah berjalan mendahuluinya dan menyalakan mesin
motorku.
***
Setelah mengikuti serangkaian
ritual ibadah seperti biasa, aku segera mengajak Vita pulang, tapi ditolaknya
dengan alasan yang nggak aku ngerti. Dengan berat hati aku menunggunya. Saat
berjalan menuju halaman depan gereja, nggak sengaja aku nabrak cowok yang
sepertinya aku kenal.
“Eh.. Sorry banget yah… gue
nggak sengaja…!” kataku sambil memungut selembaran yang berserakan entah isinya
apa aku nggak tau, yang jelas kertas-kertas itu jatuh dari tangan tuh cowok
waktu aku nabrak dia.
“Iya… nggak apa-apa kok…!”
katanya sambil turut membantuku mengumpulkan semua selembaran itu.
“Makasih yah…!” katanya lagi
saat aku memberikan kertas-kertas yang telah kukumpulkan.
“Sekali lagi maaf yah…!” kataku
rada malu. Setelah itu aku berlalu meninggalkannya karena Vita datang dan
memintaku keluar. Sepertinya ada hal penting yang ingin dia katakan.
“Aduh… Ada apa sih…?” tanyaku
meminta penjelasan darinya.
“Lo ngapain tadi…?” tanyanya
melototiku.
“Nggak ngapa-ngapain, cuma
bantuin Aldi mungutin kertas yang terhambur karena gue tabrak..” jelasku.
“Iya… Gue juga tadi lihat… Tapi
nggak usah lama-lama gitu ngobrolnya…”
“Emangnya kenapa sih?” tanyaku
kebingungan.
“Pacarnya tadi natap lo sinis,
gara-gara ulah lo itu!” jawab Vita.
“Si Tessa?” kataku lagi mencoba
menebak, karena yang aku tahu, Tessa adalah satu-satunya pacar Aldi sejak aku
kelas 4 SD dan sepertinya itu masih berlangsung sampai sekarang.
“Siapa lagi…” kata Vita sambil
mengedarkan pandangannya. Entah apa yang dia cari.
“Yang penting kan aku nggak ngapa-ngapain
dia…” cetusku cuek sebelum akhirnya berlalu meninggalkannya.
***
Sejak kejadian itu,
setiap ada acara dan aku serta Aldi hadir, entah kenapa cowok cakep, punya
pekerjaan tetap, biasa mainin alat music keyboard, drum, bass, guitar, de el el
itu selalu merhatiin aku. Aku nggak pernah berani beradu pandang dengannya,
mengingat kata-kata Vita yang mengatakan bahwa tatapan sinis Tessa selalu
menghujaniku. Aku pun dibuat malamun oleh hal itu, hingga nggak aku sadari
kalau Aldi sedang berjalan menuju ke arahku.
“Hai…” sapa Aldi
yang nggak langsung aku jawab karena aku kirain itu cuma bagian dari lamunanku.
“Woi…!” sentaknya
kali ini lebih keras dari awal tadi.
“Mau pulang
sekarang…?” kataku spontan, karena aku
kira dia Vita.
“Pulang…?” tanyanya
balik yang membuat wajahku memerah karena malu.
“Eh… Sorry, aku
kirain Vita…!” kataku mencoba memberi alasan.
“Nggak apa-apa
kok... Kamu daftar pengkaderan keyboard kan…?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Ummm… Iya… Kenapa
ya?”
“Besok ada latihan…
Dateng ya…!” pintanya disertai senyum. Aku ngerasa kalau tatapannya ke aku tuh
gimana gitu, apa dia suka yah? Tanyaku dalam hati. Bagaimana mungkin dia suka
sama cewek kayak aku? Aku geleng kepala, cepat menghapus lamunanku itu.
Keesokan harinya…
“Udah lama yah…?”
kata seseorang mengagetkanku dari belakang.
“Nggak kok, Di…”
jawabku saat menyadari itu adalah Aldi.
“Lo cantik banget
hari ini…” pujinya. Aku sendiri heran. Tak ada yang berubah dariku cuma
rambutku aja yang aku urai dan sedikit kusossis.
“Hmmm…” desusku
saat kehabisan kata-kata.
“Yaudah… Kita mulai
aja…” katanya setelah selesai memasang perlengkapan keyboard. Tanpa menolak aku
segera mangambil posisi duduk sesuai pinta Aldi. Ia mengajarkan aku semua yang
ia ketahui tentang musik itu. Aku tertegun ketika ia menggenggam jemariku dan
meletakkannya di atas toots keyboard hingga membentuk akord yang dimaksud.
Detak jantungku semakin nggak karuan saat ia menatapku dalam plus senyuman
mautnya. Adegan itu terulang beberapa kali, dan tanpa terasa waktu telah
menunjukkan pukul 7 malam. Latihan itu pun di akhiri.
“Aku anter yah,
Ril…” tawar Aldi.
“Anterin aku…?
Nggak usah deh… rumah aku kan deket…” hindarku.
“Udah.. Nggak usah
nolak deh… Pokoknya aku anter…!” tekadnya masih dengan tatapan dalam.
Aku udah nggak bisa
berkata-kata lagi. Hingga akhirnya Aku mengikutinya.
“Makasih ya…” kataku saat motor
Vixion-nya berhenti tepat di depan halaman rumahku.
“Iya sama-sama… Kamu isi nomor
kamu dong…!” katanya dengan senyum sambil memberikan HP-nya. Aku pun segera
mengetik deretan angka di layar HP-nya dan menyimpannya di phone book-nya.
“Aku pulang yah…!” katanya sambil
menyalakan mesin motornya dan akhirnya berlalu meninggalkanku. Aku hanya
membalas kata-katanya dengan seuntai senyum, lalu masuk ke dalam rumah.
“Cie…Cie… Dianterin Aldi ni
yee…!” goda Ririn, adik perempuanku.
“Huss… berisik lo…!” ketusku
kemudian masuk ke kamarku. Aku segera melangkah ke kamar mandi untuk
membersihkan diri. Setelah itu, aku meyempatkan diri untuk bercermin dan
memakai parfum, kemudian berbaring di tempat tidur sambil mendengarkan lagu
dari MP3 kesayanganku. Beberapa saat kemudian, HP-ku berbunyi dan tertera ada 1
pesan masuk.
“Malam, Ril… Lagi ngapain??? Ini
aku Aldi…” bunyi pesan itu.
“Malam juga… Aku lagi
baring-baring aja nih… kamu???” balasku.
Pesan itu terus
berlanjut hingga akhirnya tiba pada pesan yang membuatku terkesan.
“Kamu mau nggak jadi pacar
rahasia aku…???” bunyi pesan kesekian dari Aldi. Aku bingung, entah harus
seperti apa ekspresiku. Aku juga bingung harus menjawab apa pesan itu. Tapi
setelah lama berpikir sambil memutar-mutar HP-ku, entah apa yang membuatku
menerimanya. Sebagai pacar rahasia, tentu aku mempunyai batasan. Tapi ia sempat
mengirim pesan yang berisi bahwa perasaannya ke Tessa udah mulai pupus. Dan itu
membuatku menggantungkan harapan padanya. Hubungan itu awalnya berjalan dengan
baik, senyumannya terus mengisi hari-hariku.
“Pagi Cint…!” katanya memberi
ucapan lewat pesan.
“Pagi juga…!” balasku singkat.
“Kangen nih… !” manjanya.
“He.he. sama…!” balasku. Sekian
lama hubungan kami berjalan dengan baik dan harmonis. Hingga suatu saat
kebingungan itu melandaku.
“Kok pending sih…!” kesalku saat
menyadari pesanku pending ke Aldi. Aku coba menelponnya tapi tetap saja
hasilnya nihil. Aku mencoba tetap berpikir positif tentangnya. Tapi itu lenyap
saat hari latihanku tiba, 3 jam aku menunggunya tapi ternyata ia nggak
datang-datang. Akhirnya aku pulang dengan perasaan nggak karuan.
“Kenapa dia nggak datang yah…?
Apa dia lupa…? Tapi kenapa nomornya masih nggak aktif…?” tanyaku dalam hati.
Saat itu aku di selimuti 1000 tanda tanya besar.
***
Saat hari ibadah tiba, aku
mengharapkan dia datang. Tapi harapan itu hanya sia-sia. Nggak ada kabar
tentangnya.
“Ada apa sebenarnya…? Kenapa dia
menghilang…?” kataku dalam hati di sela ibadah. Tak ada yang dapat aku lakukan
selain diam dan menanti.
Hari itu aku memutuskan
untuk mencari Aldi ke rumahnya. Tanpa di sengaja dalam perjalanan menuju
rumahnya, aku bertemu dengannya dalam perjalanan. Tanpa membuang waktu aku
segera menambah kecepatan laju motorku untuk menghentikannya. Alhasil cara itu
berhasil dan ia pun langsung mengenaliku.
“Ril… Kamu mau mati apa…?”
katanya sambil melepaskan helmnya.
“Nggak penting… Yang penting
itu, sekarang kamu jelasin ke aku kenapa tiba-tiba kamu menghilang….? Kamu itu
buat aku khawatir tahu nggak…!” ketusku to the point.
“Sorry, Ril… Tapi aku lagi
pusing banget… Tessa udah tahu kalau aku pacaran ama kamu, dan dia minta aku
putusin dia…!” curhatnya dengan nada lirih. Kata-katanya itu membuat hatiku
seketika sakit. Aku kembali teringat kata-katanya dulu kalau perasaannya ke
Tessa tuh udah pupus, tapi kenapa sekarang Tessa minta putus kok dia kayaknya
pusing dan takut banget kehilangan Tessa. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku
segera beranjak meninggalkannya. Namun, Dia mengejarku dan berusaha
menghentikanku.
“Ril… Tunggu…!” teriaknya. Tapi
nggak aku hiraukan. Hati aku udah terlanjur sakit. Dengan cepat aku segera
menyalakan mesin motorku dan berlalu meninggalkannya. Aku nggak tau apa yang
dia lakukan sepeninggalku. Sesampaiku di rumah, aku langsung menerobos masuk ke
dalam kamar tanpa memperdulikan orang-orang di sekitarku.
“Sial…” geramku. Sejak kejadian
itu aku selalu menghindari Aldi. Sempat ia bertamu ke rumahku tapi nggak aku
temuin. Aku juga sadar, aku nggak bisa nyalahin dia sepenuhnya, karena ini juga
kesalahanku. Tapi entah kenapa hati aku sakit banget tiap ingat kata-katanya.
Seketika aku berubah menjadi sosok yang pendiam dan penyendiri. Tapi itu bukan
berarti aku berubah permanen seperti itu, aku hanya butuh waktu untuk
menenangkan pikiran, dan mencari jalan keluar semua permasalahan itu.
Setelah sekian lama, aku telah
memfinallkan keputusanku dan aku merasa bahwa aku harus menemui Aldi. Aku nekat
untuk menemuinya di kantornya. Setelah meminta tolong pada security kantornya,
ia pun muncul dari dalam ruangan.
“Di, gue pengen ngomong
penting…!” kataku memulai pembicaraan.
“Silahkan…!” jawabnya masih
tetap menatapku.
“Huft…” desusku menghela nafas
mempersiapkan diri untuk mengungkapkan semuanya kepada Aldi, karena menurutku
ini yang terbaik untuk aku, Aldi dan Tessa.
“Sebelumnya aku pengen minta
maaf…!” mulaiku.
“Aku yang salah kok…!” katanya
lirih.
“Hmmm… Kamu beneran sayang ama
aku…?” tanyaku sambil membalas tatapannya.
“Aku sayang banget ama kamu,
Ril…! Katanya menggenggam tanganku dan meminta kepercayaan dariku.
“Aku percaya kok…!” jawabku
sambil berusaha melepaskan genggamannya.
“Kenapa Ril…?” katanya meminta
penjelasan.
“Mulai sekarang kamu harus bisa
lupain aku… Aku ngerasa aku cuma penyusup dalam hubungan kalian…!” kataku
dengan mata mulai berkaca-kaca, tapi dengan sekuat tenaga aku mencoba
menahannya.
“Tapi Ril…” belum sempat ia
berbicara, aku langsung memotongnya.
“Ini yang terbaik buat kita,
Di…! Kamu harus tetap sama Tessa… kamu nggak boleh ngorbanin dia hanya untuk
cewek nggak jelas kayak aku…!” kataku minta dimengerti.
“Kamu nggak boleh gitu dong
Ril…!” jawabnya.
“Kalau kamu emang sayang ama aku, kamu harus
bisa lupain aku…!” sentakku kemudian berlalu meninggalkannya. Perasaan aku
sakit mengeluarkan kata-kata itu, tapi aku ngerasa kalau aku udah ngelakuin hal
yang paling benar. Cinta itu butuh pengorbanan, itu sedikit melegakanku. Aku
ngerasa nggak sanggup liat kebahagiaan orang lain hilang karena keegoisan aku.
Belajar menerima semua ini setidaknya lebih baik untukku dan itu adalah
tindakan orang yang berfikir dewasa.
Dengan berbagai macam cara aku berusaha
mengembalikan hubungan Aldi dan Tessa yang sempat kandas karena keegoisanku.
Aku memberanikan diri menemui Tessa, awalnya dia emang nggak nerima aku dengan
baik, tapi penuturanku yang panjang lebar dan cukup menyentuh membuatnya
mengerti. Sempat dia malah nyuruh aku ngelanjutin hubunganku ama Aldi tapi aku
malah berkata:
“Tes, kamu jauh lebih pantas
ngedampingin Aldi ketimbang aku… Aku bahagia kok dengan hidupku sekarang…!”
kata-kata itu mengalir begitu saja dari mulutku. Usahaku mempertemukan mereka
dengan susah payah akhirnya berhasil. Aldi kembali seperti dulu lagi. Terakhir
aku menemuinya ia mengeluarkan kata-kata diluar dugaanku.
“Aku sekarang ngerti Ril… Cinta
itu nggak harus memiliki… Makasih yah, udah ngajarin aku arti cinta
sesungguhnya…!” katanya dengan senyum terindah yang pernah aku lihat.
“Aku boleh nggak meluk kamu…
Sebagai tanda persahabatan kita…!” pintanya lagi penuh harap.
Aku nggak jawab apa-apa, aku
hanya membalasnya dengan seulas senyum dan ia menangkap maksud isyarat itu.
Dengan cepat diraihnya tubuhku dan dipeluknya dengan erat. Kenyamanan pelukan
itu masih dapat aku rasakan. Pelukan cinta sementara yang sempat mengisi
hari-hariku, membuatnya lebih berwarna, mengajarkan aku tentang rindu dan cinta
yang sebenarnya.
Aku merasa amat sangat lega.
Nggak ada beban yang menghujaniku lagi. Semua yang telah terjadi aku jadikan
sebagai kenangan yang terindah yang pernah kualami.
3 bulan kemudian…
Kini Aldi telah
kembali bersama Tessa, mereka udah tunangan dan kabarnya dalam waktu dekat
mereka bakal married. Sementara aku…
“Pagi sayang…! Berangkat yuk…
entar telat…!” kata Bhen, kekasihku. Aku dipertemukan dengannya melalui Vita.
Dia baik, perhatian, penyayang dan dia juga yang kembali mengisi cinta di hatiku
yang sempat kosong. Tanpa membuang waktu lagi, aku segera menutup diary yang
berisi cerita cinta yang indah dan berlalu dengan Rhio, pangeranku yang aku
beri panggilan “Bebebh”. Ada sesuatu pada dirinya yang buat aku nggak bisa
lepasin dia, lagipula kehilangan itu menyakitkan, jadi aku nggak pengen
kehilangan lagi. Mengerti cinta emang sulit, tapi merasakan kasih sayang dan
merindukan kehadiran kekasih lebih bisa menutup semua sakit itu.
PELITA DERITA
Ini sudah mulai gila. Bunda selalu bilang seperti itu ketika menatap
penuh kejengkelan di setiap lembar gambaran yang baru saja kugunting. Ia
merampas majalah-majalah remaja dari mejaku lalu seperti biasa menyingkirkan
semuanya ke kotak sampah. Aku mendengus berusaha menunjukkan penyesalan yang
dibuat-buat. Setelah bunda melangkah pergi segera kuamankan semua lembaran itu
ke sebuah laci mungil di meja belajarku yang berkunci. Aku melompat masuk ke
kasurku lalu menghangatkan diri dalam bungkusan selimut. Sekali lagi di setiap
malamnya kuulangi permintaanku dan aku yakin permintaan itu akan terwujudkan
pada waktu yang tepat.
Namaku Dido. Nama
itu telah melekat padaku mulai dari proses berkembangnya diriku sebagai embrio.
Bunda sangat tergila-gila dengan tokoh-tokoh aktor pujaannya. Bunda seperti
lebah yang menghindari dari satu bioskop ke bioskop lainnya hanya untuk
memenuhi kegilaannya menonton. Tapi aku terbiasa dengan itu, sejak dalam
kandungan sekalipun. Begitu pun dengan ayah yang terbawa arus ambisinya menjadi
seorang joki. Dia terdengar seperti pemimpi besar, yang mengejar impiannya lalu
berkelana entah kemana, tapi aku terbiasa. Hidupku bergantung dari semangat
yang timbul dari keinginan dan ambisi itu. Satu lagi yang aku tahu, kedua
orangtuaku menikmati ambisinya, begitu pun dengan aku.
Bunda
meninggalkan kecintaannya dengan film bersamaan dengan ayah yang meninggalkan
kami. Bunda menghindarkan aku dari rasa ingin yang kumiliki sekarang ini. Dia
meyakinkan aku kalau hanya kehancuran yang akan terjadi. Tapi tak akan pernah
kutinggalkan keinginan dan ambisiku. Mencintai cewek asing.
Aku terjaga dalam
tidurku tak bisa membayangkan hari pertama di sekolahku yang baru. Fido
berbalik lalu tangannya yang kurus membentur pelipisku. Aku terbangun dalam
gelap, membenarkan letak tidurnya. Dia adikku, namanya Fido. Dia anak lemah
yang tidak mempunyai keinginan apapun dalam hidupnya, itu yang membedakannya
dengan anggota keluarga yang lain. Untuk hidup aja ia harus melampaui batas
yang sulit, menerima bantuan untuk mengembangkan paru-parunya yang menciut dan
kadang bermacam-macam selang dan kabel berlalu lalang diantara pembuluh darah
di sekujur tubuhnya. Aku tak terlalu mengenal dia karena siapa pun yang
mengamatinya terlalu lama tak jarang ia berkata : “Jangan lihat aku seperti itu,
aku bisa mati kapan saja”.
Fido takut
kematian menjemputnya di saat-saat tak terduga. Ia terbangun di tengah malam
untuk memastikan ia tetap berada di ranjangnya, bukan di surga atau pun neraka.
Ia takut. Berbeda denganku, menurutku selama keinginan ini masih bergelora
rasanya aku tak mungkin mati.
***
Aku sudah berada
di gedung sekolahku yang baru ketika waktu sarapan pagi tiba. Menghirup udara
eksklusif yang disimpan rapat diantara ruang-ruang kelas berfasilitas mewah.
Disinilah aku dengan puluhan murid berambut pirang dan bermata biru. Aku
berusaha tidak menyisakan bekas muntahan Fido di jejak sepatuku ketika
berjalan, tapi cairan kental berwarna kuning itu menempel seperti permen karet.
“Jangan pernah
menyisakan makan siangmu”, bunda melepaskan genggamannya ketika aku terlalu
sibuk dengan sepatuku.
“Hm…” aku terus
bergumam saat bunda memuntahkan nasihatnya.
“Aku tak mau
wajahmu berubah sampai akhir bulan tiba”.
“Hm…”, aku
berusaha mengingat-ingat raut wajahku kemarin malam dari pantulan kaca. Aku
tampan juga.
“Dan jaga sikapmu
sampai bunda menjemputmu kembali”.
“Hm…,”.
Bunda dan aku
berpisah saat melewati ruang kepala sekolah, ia menatapku untuk terakhir
kalinya dan mengisyaratkan perkataan jangan nakal pada pandangannya. Aku
berlalu dan sesungguhnya gumamanku itu berarti jika situasi mendukung. Aku tak
benar-benar yakin anak-anak di sini terbiasa menghabiskan makan siangnya.
Aku terduduk di
bangku taman lalu meletakkan ransel serta map kuning tepat di sebelah ku. Aku
memeriksa kembali mapku, meyakinkan kunci laci meja belajarku masih ada di
sana. Aku tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika kunci itu di tangan
bunda.
Mulanya ini
sulit, untuk menginjakkan kaki di sini rasanya seperti hal yang mustahil.
Sepatu keds kumal yang membungkus kaki ku sempat bertahan dari rasa malu saat
ditertawai lantai mengkilap gedung ini, tapi setelah apa, kenapa dan bagaimana
yang kupaparkan pada bunda dapat kupenuhi sebagai syarat tibalah kedua kaki ku
merayap diantara dinginnya lantai marmer sekolah ini.
Aku masih
menunggu. Menunggu mentalku siap, menunggu ruang kelas ku, menunggu segala
sesuatunya terjadi. Aku, Dido dengan ancaman apa pun siap terjun bebas diantara
tempat berkumpulnya cewek-cewek bule. Itulah obsesiku.
***
Ketika
baru mendafar ke tempat impianku ini, aku serasa dirasuki roh Romeo. Cewek itu
benar-benar beruntung membuatku begitu terpesona pada pandangan pertama. Mataku
meneliti penampilannya, pembawaannya yang terlihat feminine dan lembut
membuatku semakin sulit untuk menahan gejolak hati yang meluap-luap di aliran
darahku. Melihat rambut kecoklatan yang berdansa dengan tiupan angin semakin
gencar jantungku berdetak.
Mendapatkan
sepasang bola mata ini untuk mencermati segalanya dengan jelas sangat
menguntungkanku. Keduanya sangat berguna untuk menemukan Juliet-ku di pagi
seramai ini.
“Hi, new comer!?”
aku nyaris menemukan sosoknya, namun lengan kekar mencekat leherku tiba-tiba
dan tanpa perlawanan aku menghentikan niatku. Aku menyumpah dalam hati.
“Aha, Dido”
ujarku pada cowok pertama yang berlaku menyebalkan dan seenaknya pagi ini. Di
sini tak banyak waktu untuk mengobrol, aku harus menemukan Juliet-ku.
“I’m Noa. Want to
join my club?”
Cowok ini berperawakan menyebalkan dengan senyum kecilnya yang
menghalau setiap gerakanku. Kali ini aku harus menjaga sikapku untuk tidak
menendang makhluk pengganggu seperti dia.
“What’s that?”
***
Janneth beth.
Aku beruntung
dalam dua hal pagi ini. Aku duduk di depan cewek kesukaanku dan bisa tahu
namanya tanpa perlu berkenalan. Keberuntungan semacam itu yang bisa membuatku
senyum-senyum sendiri selama jam pelajaran. Jantungku seperti digelitiki
sehingga terdengar suara “dag-dig-dug” yang mencemaskan. Akankah aku menemukan
cinta?
“Mr. Dido!” aku
mendongak dari lamunanku dan menatap sepasang mata yang berlapis kaca mata
tebal. “Ha?!”
“Bukankah lebih
pantas katakan, yes sir?” pria berkumis itu berusaha tidak merusak pandangan
pertamaku tentangnya. Ia mengecilkan volume suaranya dan bicara lebih tepatnya
berbisik padaku dengan ucapan Bahasa Indonesia yang jelas. Aku yakin hanya
beberapa yang mengerti. Janneth tersenyum kecil dan senyumnya nyaris
menggenangi benakku. Ia membuatku ingin melihatnya terus.
Setelah istirahat
aku kembali terpisahkan dengan Janneth hanya karena semua cowok mengerubungiku,
mengatakan apa yang ada padaku keren. Sebenarnya menyenangkan menjadi pujaan
seperti ini, tapi aku di sini bukan untuk itu. Mereka menggiringku ke tempat
makan siang, tidak mengeluarkan uang mereka untuk membeli makanan tetapi
mengambil di tempat dia tidak menuai, menjajah setiap tempat yang bukan milik
mereka.
“Jadilah bagian
dari kami atau merana sebagai sampah” Noa mencengkeram bahu bergetar seorang
cowok berwajah bodoh, memaksanya untuk menerjemahkan setiap kata-kata yang
meluncur dari mulut Noa agar kumengerti.
“Kita menuju
setiap orang yang menyebalkan dan tak perlu lelah dengan setiap tugas yang
terabaikan di atas meja”.
Aku mungkin
tertarik tapi melihat salah satu contoh yang menjadi sasaran aku sedikit cemas.
Cowok ini begitu lemah dan sama tidak berdayanya dengan ikan yang terdampar di
daratan. “Do you think that so smart choice?” tanyaku pada si tampang bodoh
itu. Rahangnya sama kakunya dengan caranya bicara. Noa si cowok kasar itu
menghentakkan tangannya ke tengkuknya.
“Ya…ya…ya.
Pilihan yang bagus” aku melempar pandangan kea rah Noa yang membuat senyum
bosan. Mereka semua menunggu jawabanku. Bel berbunyi nyaring berarti semua ini
bisa ditunda. Noa melepaskan cengkramannya dan menyingkir dari meja makan
siangku bersama teman-temannya. Tinggal aku dan si wajah bodoh.
Aku
meninggalkannya dan mengisyaratkan padanya untuk segera menyeruput habis sup
wortelku masuk ke dalam perutnya. Ketika aku menoleh kembali yang tersisa hanya
seperangkat alat makan yang tersapu licin. Dia pasti sangat lapar.
“Maaf bunda, tak
ada pilihan untuk menghabiskan makan siangku sendiri”.
***
Minggu pertamaku
di Saint Anastasia mulai menggerogoti kegiatan-kegiatanku untuk membaca komik,
menggunting artikel, dan bersantai. Semuanya menuntut penyelesaian. Tugas-tugas
dengan jangka pendek terus mengisi waktu kosongku dan tak banyak waktu untuk
sekedar menendang bola atau bermain. Aku sangat terbebani dengan segala tugas
yang menumpuk. Aku jadi teringat tawaran Noa. “Kita meninju setiap orang yang menyebalkan dan tak perlu lelah dengan
setiap tugas yang terabaikan di atas meja.”
Aku mengelap
setiap keringat yang membentuk aliran sungai di wajahku. Sungguh ini berat. Aku
merajut benang-benang kekesalan yang meruwet di ujung benakku. Aku merindukan
kebebasanku menendang bola dan menggunting artikel-artikel terbaru dari majalah
remaja cewek. Yang terdengar diantara sepi malam ini hanya gemeletuk gigiku
yang saling beradu. Sungguh aku benar-benar kesal.
“Aaaarggh!!! aku
akan mati tanpa rasa itu membanjiri darahku”.
Aku tidur di ranjangku berusaha untuk tidak khawatir dengan hukuman
tidak membuat tugas. Ranjangku tidak nyaman, sepertinya ada yang mengganjal.
Aku memastikan itu hanya perasaanku saja, tapi sebungkus rokok ada di balik
selimutku dan ada pesan kecil di atasnya “Try it, One day you need it”.
Wajah bunda
seketika muncul di benakku, memasang wajah kecewa dan kulemparkan kotak rokok
itu ke tempat yang seharusnya. Kotak sampah.
Hari mulai petang, dua jam berselang namun ia tak
kunjung datang. Hatiku mulai berang karena menelantarkan waktu untuk
bersenang-senang diantara rimbunan tugas.
“Hi!” aku menoleh
dan mendapati Janneth berjalan ke arahku.
“Nice day”
komentarku. Ia berlalu tanpa menangkap kekaguman di wajahku. Aku terperangah.
Banyak waktu
terbuang jika aku tak melakukan usaha sedikitpun. Aku ingin perhatiannya hanya
untukku. Laki-laki seperti apa aku ini? Otakku berputar dan menemukan
jawabannya.
“One day you need it” aku mengulang pesan Noa
dan mengangguk-angguk mengerti.
“Ehm…itu dia,
suatu yang menarik perhatian cewek-cewek”
***
Semua tekanan
ternyata berhasil memaksaku dan tak membiarkanku berusaha memilih yang baik dan
yang benar semua ini terlalu gelap dan tak ada sekecil cahaya yang bisa
membantuku melihat. Aku tergiring ke suatu jalan yang belum tentu aku inginkan.
Entah dalam situasi seburuk apa aku sekarang.
Bulan pertamaku
telah berhasil mengubahku secara drastis menjadi seorang yang lebih dewasa. Aku
mengakui diriku yang dulu terlalu rumahan dan manja. Aku tahu walau awalnya
membingungkan, semua ini membuatku merasakan dunia remaja yang sebenarnya.
Bersama teman-teman tentunya. Mereka mendukung obsesiku dan mengasah kemampuan
naluriahku dalam masalah pergaulan dan mendorongku mengejar yang menurutku
pantas buatku. Aku tahu aku butuh mereka dan aku adalah bagian dari mereka.
“Do it” aku
mengulang kata-kata itu setiap gerakan Timothy mulai menunjukkan wajah
mengantuk. Dia teman sekamarku yang paling pintar tapi berwajah bodoh di kelas.
Dia selalu gemetaran setiap kali dibentak. Mulanya ini sangat sulit tapi aku
sudah mulai terbiasa.
Sudah pukul
Sembilan malam. Waktu-waktu seperti ini kepala asrama tak mungkin berkeliaran
dari kamar ke kamar. Aku menjangkau kotak rokok yang tersembunyi di bawah
ranjangku dan cepat-cepat menyulutnya dengan korek kecil dari saku celanaku.
Aku menghisap rokokku dalam-dalam dan menghembuskan asap ke wajah Timothy. Ia
terbatuk-batuk dan aku suka melihatnya sengsara. Menyakiti terasa begitu
menyenangkan.
Tiba-tiba lampu
meredup. Aku panic dan aku tahu Timothy gemetaran. Aku menelungkup di bawah
ranjang dan menyembunyikan diriku seperti aku menyembunyikan berkotak-kotak
rokok di tempat yang sama.
Pintu kamarku
terbuka. Timothy terlihat sangat gemetar dari bawah ranjang. Aku melihat
punting rokokku terjatuh dari genggamannya dan sepatu-sepatu karet tebal
membawanya pergi dan seketika lampu menyala kembali. Petugas keamanan membawa
Timothy pergi dan aku tak tahu harus bagaimana. Di bulan pertamaku sekolah aku
harus menyeret kembali koperku karena ulahku yang memalukan. Aku tak bisa
menyerah begitu mudah tanpa membawa hasil apa pun. Seseorang selamatkan aku!!
Noa!
Aku menembus
lorong-lorong asrama berusaha menemukan kamar Noa. Dia selalu ada untuk
membantuku dan kali ini aku sangat membutuhkan bantuannya. Aku berlari di malam
sedingin ini tanpa alas kaki, batu-batu kerikil mencoba menggores telapak
kakiku yang bergesekan dengan lantai koridor. Noa bantulah aku!
Setidaknya yang
satu ini benar kamar Noa, aku mengetuk pintunya berkali-kali. Tidak ada
jawaban. Ketika kubuka paksa ternyata pintunya tidak terkunci. Aneh.
“Have a nice holiday. Check some rooms, there
are many smooking’s student inside”
“Bodoh!” ujarku
kesal. Membanting pandangan ke arah sekeliling kamar Noa yang menipu. Dihiasi
ayat-ayat alkitab yang dibingkai manis seperti kamar anak perempuan ditambah
kartu ucapan manis yang terpajang cantik di sudut meja. Penipu. Aku tak kuasa
menahan tangisku. Aku laki-laki yang sungguh cengeng. Aku tak mampu berbuat
apapun lagi kecuali menangis.
***
Aku berdoa.
Aku meminta
dengan seseorang yang tak mungkin menjanjikan khayalan.
Aku menyelimuti
kekalutan dalam diriku dan berusaha setenang mungkin. Menenangkan diri dengan
mengingat senyum terakhir yang berhasil membuatku begitu bahagia. Sungguh aku
berlumuran keringat dosa. Aku sungguh bodoh untuk menyesal belakangan.
Aku terbatuk.
Lagi-lagi terbatuk. Kepulan asap rokok telah meracuniku dan lidahku terasa
pahit saat tak menghisap batangan-batangan rokok itu. Aku kecanduan dan terus
ingin menikmati seluruh batangan rokok yang kumiliki. “Uhuuuk….Uhuuuk” entah
sampai kapan aku terus terbatuk. Tenggorokanku terasa kering dan bagian-bagian
bibirku menghitam.
Cermin di depan
wajahku memantulkan bayangan seseorang. Siapa dia? Aku dilanda rasa cemas dan
tak mampu lagi mengenali bayangan siapa yang terpantul pada cermin di
hadapanku. Aku merasa telah lama tak mengenal sosokku. Seseorang yang ku kenal
dengan senyum dan ekspresi begitu bersemangat, yang kulihat dari pantulannya
hanya wajah lesu dengan bibir kehitaman dan merasa sesuatu yang mengganjal pada
paru-paru sehingga sulit bernafas. Aku merasa paru-paruku menyempit. Aku terus
terbatuk dan akhirnya kegelapan menguasaiku. Aku tertidur dan mungkin masih
terus terbatuk.
***
Bunda begitu
kuat. Dia masih bisa menatapku penuh kelembutan saat tiap cairan dalam
suntikan-suntikan itu mencuci bersih paru-paruku. Aku tahu ia benci padaku dan
aku tahu aku telah mempermainkan kesempatan yang ia berikan dan aku juga tahu
aku ini SANGAT MENGECEWAKAN.
“Bunda sangat
membencimu, nak” ujar bunda di telingaku dan aku tahu dia tidak bercanda.
Matanya menatap kosong ujung sepatunya dan tak dibiarkannya setetes air mata
mengotori riasan wajahnya.
“Terlalu lama aku
menyayangimu untuk pembalasan seperti ini”.
Bunda pergi. Ia tak pernah bercanda dengan kata-katanya. Ia menjauh
dan hilang bersama Fido di kejauhan. Aku tertawa dalam sepi dan batuk-batuk
kering menyelingi tawaku.
“Terlalu lama ya…
ha haha ha” aku tertawa dengan perasaan menangis. Kegilaanku pada figure cewek
bule telah lama menutup mataku dan menyamarkan jalan yang sebenarnya kuinginkan
dan kini telah terlalu jauh untuk memutar arah. Sekarang aku tahu kalau aku
salah tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Karena keinginan ini gila dan aku tak
bisa lepas dari jeratnya.
“MIMPI”
Di suatu desa terpencil, hiduplah seorang gadis dari keluarga yang
sederhana. Gadis ini bernama Dinda. Dia berumur 16 tahun saat itu. Dinda adalah
gadis yang tegar dan baik hati. Hampir setiap harinya Dinda menghadapi cobaan
silih berganti, sehingga kadang itu membuatnya putus asa.
Suatu hari di sekolah barunya,ia
berusaha mencari teman baru. Di sekolah itu Dinda hanya pendatang jadi dia
belum tahu banyak tentang keadaan sekitar. Setelah cukup lama, ia akhirnya
mendapatkan teman duduk, namanya Citra. Citra anaknya baik hati dan ramah namun
seringkali humoris.
Hari demi hari Dinda lewati di
sekolah bersama Citra dengan penuh kedamaian berkat persahabatan. Hingga Dinda
mulai mengalami gejala yang sering di rasakan remaja pada umumnya. JATUH CINTA.
Dinda mulai memusatkan perhatiannya pada sosok yang penuh kesederhanaan pada
awal semester 2 tahun pertamanya di SMA. Cowok itu namanya Afandi, siswa kelas
XI.
Namun ketertarikannya hanya
dituangkan melalui diamnya. Dinda tak berani menuangkannya melalui tindakan.
Citra yang mulai menyadari perubahan dari sahabatnya itu pun mengerti akan apa
yang dirasakan Dinda.
Dinda hanya dapat menatap dan
mengagumi sosok itu dari kejauhan.
“Jadi cuma gini aja usaha
kamu???” kata Citra yang memergoki Dinda sedang memperhatikan sosok pujaan
hatinya.
“Maksud kamu???” Tanya Dinda
bingung.
“Ha.ha. kamu ini gimana sih…!
Kalau suka yah bilang dong ama orangnya… jangan di diemin…!” jawab Citra
memberi saran.
“Yah nggak mungkinlah…!”
“Iiih, apa yang nggak mungkin
sih…”
“Nggak ah… ide kamu tuh gila…!”
kata Dinda sambil berlalu meninggalkan Citra.
“Eh, Din tunggu dong…” kata
Citra sembari mengejar Dinda yang melangkah masuk kelas.
“Kenapa sih kamu berharap ama
dia… padahalkan diluar sana banyak cowok yang nungguin kamu…” sambung Citra.
Dinda hanya membalasnya dengan
seulas senyuman.
“Din, kamu yakin mau terus
berharap sama cowok itu…?”
“Citra, saya itu yakin dengan
pilihan saya…!” kata Dinda singkat.
Hanya itu yang dapat Dinda
lakukan selama 1 semester terhadap pujaan hatinya. Entah apa yang membuatnya
tak berani mengungkapkannya. Entah gengsi atau hal lainnya,hanya dia yang tahu.
“Din… tunggu dong…!” terdengar
seseorang memanggil Dinda, suara itu tak asing baginya. Dinda segera
menghentikan langkahnya dan mencari sumber suara itu.
“Kenapa Cit…?” Tanya Dinda.
“Gimana nilai raport kamu…?”.
Hari itu adalah hari penerimaan raport semester 2 di sekolah mereka.
“Yah… lumayanlah… kamu
sendiri…?”
“Yah… sama… dikit meningkatlah…”
kata Citra panjang lebar.
Pandangan Dinda kembali terpaku
kepada sosok Afandi yang kebetulan berada dekat dengan posisi mereka saat itu.
Dinda kelihatan sangat bahagia,,seperti lagunya D’Masiv-Semakin.
Kamu yang kini memikat hatiku
Sungguh ku ingin lebih dekat denganmu
Beri aku waktu
Tuk buktikan kepadamu
Sungguh kuingin memiliki hatimu…
Semakin ku memikirkanmu
Semakin ku menggilaimu
Kau bintang di hatiku
Terangi setiap langkahku….
“OOOiiiii…..” kata Citra
membuyarkan pandangan Dinda. Dinda yang kaget pun menjadi salah tingkah.
Semakin menjadi saat Citra terus-menerus menertawainya.
***
Suatu hari Dinda memutuskan
untuk mengikuti kegiatan PA. Di situ dia mendapatkan banyak teman baru. Dia
mengisi waktu liburnya dengan kegiatan itu. Waktu demi waktu berlalu dan Dinda
semakin akrab dengan teman barunya. Hingga seseorang yang bernama Fadli
menghampirinya.
“Hai Din….” Sapa Fadli.
“Hai…” jawab Dinda singkat di
sertai senyuman.
“Kamu udah punya pacar belum…?”
tanyanya.
Sejenak Dinda tersenyum dan
terdiam. Dia teringat pada sosok Afandi.
“Din…” panggil Fadli.
“Aku nggak punya pacar….” Kata
Dinda.
“Hmmm…. Aku kenalin kamu ama
temenku, mau nggak?” Tanya Fadli.
Dinda kembali terdiam.
“Terserah kamu aja….” Jawab
Dinda setelah terdiam beberapa saat.
“Oke…. Namanya Afandi, kakak
kelas kamu kayaknya….!”
Kata-kata itu membuat Dinda
seolah berada di langit ke-7. Seolah dunia berhenti berputar. Hal itu
membuatnya tercengang dan terdiam kembali dan lagi. Darahnya seolah berhenti
mengalir.
“Kenapa Din…? Kamu nggak suka
ama dia ya…?” Tanya Fadli lagi.
“Suka kok…” kata itu mengalir
begitu saja dari mulutnya. Membuat Fadli tersenyum melihat tingkah anehnya yang
kemudian Dinda menjadi salah tingkah lagi. Wajahnya memerah. Dia tak percaya
hal ini akan terjadi. Dia tak percaya ada jembatan yang akan membawanya
mengenal Afandi yang telah lama ia idolakan lebih dekat lagi.
***
Akhirnya Dinda melewati
hari-harinya dengan penuh kebahagiaan. Dia sebisa mungkin bersikap manis di
depan Afandi. Debaran di dadanya semakin tak menentu ketika menatap mata indah
Afandi yang penuh cinta. Apalagi saat dia mulai menyadari adanya selah harapan
dari pujaan hatinya. Dinda sendiri tak mengerti dengan apa yang dia rasakan.
Yang dia tahu adalah bahwa harinya indah bersama Afandi.
Harapan Dinda semakin besar
kepada Afandi saat Afandi mengeluarkan kata-kata bahwa ia merasa sangat kehilangan
jika Dinda harus pergi darinya. Rasa yang ada di dalam hati Dinda semakin
membara dan bertambah.
Dinda tidak memperdulikan saat
hatinya harus sakit di kala Afandi cuek terhadapnya. Sepertinya cinta sudah
membutakannya. Dinda menganggap bahwa sakit hati sejenak tidak sebanding dengan
kebahagiaan yang ia rasakan saat bersama Afandi. Ia sudah berjanji dan bertekad
akan melakukan apapun untuk Afandi. Termasuk mengikuti ciri cewek idaman
Afandi.
Setelah sekian lama, Dinda tak
dapat membendung lagi perasaannya. Dia tak dapat menunggu terlalu lama lagi.
Akhirnya dia mengambil keputusan untuk menyatakan perasaannya kepada Afandi
sosok yang ia panggil dengan sebutan “Kakak”.
Dinda bertekad menyatakannya
melalui message, pesan itu tak terlalu panjang, namun di situ terurai semua
tentang perasaan Dinda. Di hari itu Dinda menyatakan cinta yang sudah lama dia
pendam, tanpa memikirkan manis atau pahit yang akan dia terima nantinya.
Cukup lama Dinda menunggu
jawaban dari semuanya itu. Dan akhirnya tertera pesan dari Afandi. Intinya
Afandi menanyakan mengapa Dinda bisa menyukainya. Dinda tak perlu waktu yang
lama untuk merangkaikan kata-kata. Karena KESEDERHANAAN Afandilah yang
membuatnya selalu terpesona. Setelah itu, Dinda meminta pendapat Fadli tentang
Afandi, dengan meneruskan pesan itu pada Fadli. Namun tanpa Dinda sadari hal
itu membuat Afandi kecewa. Bahkan mungkin sangat Kecewa.
Dinda seolah kehabisan
kata-kata. Dia tak tahu apa yang telah dan akan dia lakukan.
Kesalahan itu membuat Dinda
kehilangan harapan dan semangat.
“Dia kecewa ama aku….” Itu
adalah kalimat yang selalu terngiang di telinga Dinda.
Dia duduk termenung seolah raga
yang tak bernyawa.
Dia akhirnya bertekad melupakan
semuanya. Satu per satu message dari Afandi dia hapus, hingga kata-kata manis
dari Afandi pun terdelete. Dan langkah terakhir yaitu menghapus nomor dan
bayangan Afandi selamanya.
Keesokan harinya, seharian penuh
Dinda berusaha sekuat mungkin mulai menjalani hidup tanpa Afandi. Meski itu
membuatnya nampak seperti orang yang pasrah akan hidupnya. Namun bayangan
Afandi selalu menghantuinya. Semakin Dinda berusaha melupakannya, semakin sulit
juga untuk dia lupakan. Hingga hal itu membuat kesehatannya sedikit terganggu.
Kesakitan yang Dinda rasakan sangat mendalam. Terlalu sukar untuk di sembuhkan.
Entah mengapa dia terus menatap
handphonenya dan berharap akan ada pesan dari Afandi. Namun kelihatannya semua
sia-sia. Air matanya mulai menetes perlahan. Menetes dan terus menumpah. Hingga
ia terlelap ke dalam dunia malam yang hening. Saat dia tertidur, barulah pesan
dari Afandi masuk. Namun Dinda sudah terlanjur terlelap.
Paginya… Dinda tercengang
membaca pesan dari Afandi yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Harapan itu
kembali muncul di benaknya. Harapan akan terbalasnya cintanya. Dengan di sertai
senyuman dan dada yang berdebar tak menentu Dinda membalasnya dan menanyakan
apa yang ingin di sampaikan Afandi.
Namun semua itu sirnah dan
meninggalkan kecewa lagi dan lagi saat Dinda mengetahui bahwa ternyata Afandi
Cuma ingin meminta maaf atas kata-katanya yang terkesan kasar pada Dinda waktu
lalu.
“Sebenarnya aku udah tahu lama
kalau kamu suka ama aku… tapi aku pura-pura nggak tahu… aku berusaha suka sama
kamu… tapi ternyata nggak segampang yang aku bayangkan….” Kata-kata itu membuat
hati Dinda semakin teriris, serasa tak ada alasan untuk hidup lagi. Sangat
sakit dan terlalu perih.
“Kenapa dia nggak bisa sayang
ama aku…?” Tanya Dinda pada dirinya sendiri dengan isakan tangis bagai orang
yang baru saja kehilangan setengah hidupnya. Dinda tak berdaya lagi. Dia tidak
pernah menyesali cintanya pada Afandi, yang Dinda sesalkan, mengapa Afandi
selama ini membiarkannya berharap kalau akhirnya akan seperti ini. Mengapa
Afandi memberinya beribu kata-kata indah jika akhirnya akan menyakitkan.
Mengapa Afandi terus bersikap manis selama ini padanya jika akhirnya Dinda di
hempaskan dan terluka. Hanya Afandi yang bisa menjawab semua tanya yang ada.
Hanya suara tangis yang
terdengar. Dia tak menyangka penantiannya selama ini berakhir seperti ini, dia
baru menyadari ternyata selama ini dia hanya menantikan Kepedihan, menunggu
waktu untuk merasakan sakit hati yang amat sangat mendalam. Dia tenggelam oleh
suara tangisnya yang mungkin akan dia bawa sampai dia mati. Dia tak pernah tahu
mengapa Afandi tak bisa mencintainya.
Seperti lagu The Rain-Tolong aku.
Tolong aku sahabatku dengarkan
jerit hatiku
Tentang dia… tentang dia masih slalu tentang dia
Ajak aku bersamamu kemanapun engkau mau
Tenangkan aku.. tenangkan aku
Sabarlah tenangkan aku
Dia pernah membuatku merasa sempurna
Hingga akupun menjanjikan slamanya
Namun ternyata mimpi yang dia punya
Berbeda…. Berbeda….
Aku takkan bisa hidup tanpa dia
Dia yang membuat aku bahagia
Tolong aku untuk melupakan dia
Sungguh hanya itu yang aku pinta…..
Tak ada kata yang dapat Dinda ucapkan kecuali menangis dan terus
menangis. Dan mencoba menerima kenyataan pahit yang telah diukirkan untuknya.
Karena tangisan itu sudah mewakili kata-kata yang akan Dinda ucapkan.
“SALAH”
Kadang hal yang diharapkan berbenturan dengan
kenyataan. Orang menganggapnya sebagai takdir. Di sitiulah perasaan bermakna,
salah satunya adalah cinta. Apa yang dialami Gita memang biasa, terjadi pada
manusia umumnya. Tetapi ini menjadi luar biasa, ketika ia merasa bahwa
simpatinya sebagaimana pungguk merindukan bulan.
Sudah dua minggu ia memendam seribu rasa yang
membuat jantungnya berdebar kencang saat melihat sang pujaan hatinya.
“Kita pilih duduk di sini aja. Ayo dong ceritain
gebetan barumu,” tiba-tiba terdengar suara serak yang mengusik lamunan Gita.
“Iya... Ri, mumpung kita ngumpul nih,” jawab
teman Qori.
“Masak lo main rahasiaan sama geng sendiri,”
tutur temannya lagi.
Gita mendadak gugup. Nggak salah lagi itu Qori.
Qori dari geng The SERIES, cowok yang sangat dikagumi para cewek-cewek di
sekolah.
Gita nyaris nggak bergerak. Menyadari cowok
tampan yang sedang ditaksirnya itu ada di meja belakangnya. Saat sedang
barengan dengan teman-teman aja Gita sudah nervous .... apalagi sekarang ia
sedang sendirian. Tapi untuk yang satu ini, rasa ingin tahunya jauh lebih
besar. Dan apa tadi? Mereka lagi ngomong soal gebetannya Qori. Wah..... Wah....
“Jadi bener nih, dia tinggal di jalan Tumbuhan?”
tanya teman Qori.
Deg, Gita nyaris tersentak. Bukankah itu jalan
tempat ia tinggal? Jalan itukan kecil, jadi ia kenal hampir semua penghuninya.
Kayaknya nggak ada yang seumuran dia, rata-rata sudah kuliah dan kerja. Rasa
ingin tahunya semakin memuncak.
“Iya, anak kelas satu juga. aku memang naksir
dia. Soalnya dia manis banget, pintar dan baik. Pasti dong banyak saingannya.
Makanya aku jaga jarak biar dia penasaran,” suara Qori terdengar riang.
Jantung Gita berdegup kencang. Ia semakin yakin ,
selain dia ngak ada anak kelas satu SMA tinggal di jalan itu. Kalau masalah
kecerdasan otak, Gita memang selalu jadi juara satu sejak cawu pertama.
Semuanya klop. Mungkin yang dimaksud Qori itu dirinya?.
“Wah, playboy satu ini sudah berketuk lutut.
Terus kapan dong kamu nembak dia?” desak temannya.
“Oh my god,” Gita nyaris menahan napas.
“Eh, ngomong-ngomong siapa namanya?” tanya
temannya lagi.
“Gita,” jawab Qori.
Kali ini Gita nyaris nggak mampu menahan diri.
Ingin rasanya ia melompat dan berteriak, kalau saja nggak ingat di mana dia
berada sekarang. Ini benar-benar keajaiban. Qori naksir dia. Berita ini wajib
diceritakan pada sohib-sohibnya.
Pukul setengah tujuh malam, semua persiapan sudah
sempurna. Sekarang Qori naksir dia. Primadona sekolah itu menyukai gadis biasa
seperti dia. Gita bernyanyi bahagia.
“Kamu nggak sedang melamun Git?” kata Intan sambil terkikik.
“Kamu nggak sedang melamun Git?” kata Intan sambil terkikik.
“Iya Git, jangan-jangan itu cuma halusinasi aja,”
timpal Shafina.
Gita pura-pura merengut sambil berucap “Pendengaranku masih normal dan aku nggak bakalan cerita kalau tahu reaksi kalian begini”.
Gita pura-pura merengut sambil berucap “Pendengaranku masih normal dan aku nggak bakalan cerita kalau tahu reaksi kalian begini”.
“Bukan begitu Git, Kalau benar Qori naksir kamu,
kok bisa tenang-tenang aja sih?” kata Intan dan Shafina.
Ruth mencoba menengahi. “Kan Qori sendiri yang
bilang dia sengaja jaga jarak biar surprise”.
“Udah deh, pokoknya mulai besok akan bakal jadi
cewek paling bahagia di dunia,” ujar Gita tersenyum bahagia.
Keesokan harinya, bel rumah berbunyi. Dengan
ceria Gita menghambur ke pintu, tapi ternyata yang datang Kak Adi, pacarnya
mbak Enes. Keduanya lalu pergi, sementara Mama dan Papanya sudah berangkat ke
acara resepsi. Di rumah hanya ada Gita dan mbak Tami.
Gita mulai tidang sabar. SEdari tadi
sohib-sohibnya terus menelpon dan membuatnya tambah be te.
“Gita bangaun! Kok ketiduran di sini?” suara
Mamanya terdengar sayup. Gita membuka matanya, ternyata Mama dan Papanya sudah
pulang.
“O ya, Qori! Astaga, setengah sepuluh malam”Gita
melonjak. Ternyata Qori tidak datang dari tadi. Gita mulai kebingungan.
Gita akhirnya ikut ajakan orang tuanya untuk
mencari makan malam di luar.
“O ya Gita. Mama lupa cerita tentang cucunya Bu
Nanda, padahal sudah sebulan lo.
Kapan-kapan kamu main ke sana ya?” tiba-tiba
Mamanya bercerita. Gita cuma mengangguk tanpa semangat.
Ketika melewati rumah Bu Nanda, Gita melihat
seorang gadis cantik lekuar dari rumah diikuti seorang cowok. “Oh my god”, Gita
terkejut bukan main. Berkali-kali dikedipkan matanya, berharap yang dilihatnya
itu orang lain. Tapi sia-sia, cowok itu benar-benar Qori. Mereka berdua
kelihatan akrab sekali.
Dengan gemetar Gita bertanya pada Mamanya, “siapa
nama gadis itu Ma?
“Kebetulan namanya sama dengan kamu .... Gita,”
jawab Mamanya.
Gita terkulai menyadari impiannya hancur oleh
kebodohannya sendiri. Seharusnya ia mendengarkan ucapan sohibnya. Dan celakanya
Gita terlanjur begitu berharap. Dia merasa marah, kecewa dan ... malu sekali.
“APA YANG TERJADI???”
KACAU…
KACAU…!!!Kenapa harus cewek itu yang terpikir di otak gue saat ini!!, batin
seorang cowok yang sedang mondar-mandir di kamar sambil menggaruk
rambutnya.Sudah dari sejam yang lalu ia berjalan seperti itu. Berusaha
menjernihkan otaknya dari ingatan-ingatan yang tak pernah sekalipun ia berusaha
pertahankan, malah ingatan itu berusaha ia hilangkan. Namun semakin ia berusaha
sekuat tenaga untuk menghilangkannya, ingatan tentang gadis itu malah terus
menari-nari.Apa yang bakal dibilang sama temen-temen gue kalo senadainya mereka
tau sama siapa gue jatuh cinta? Terus mantan gue? Citra gue di sekolah?,
AAAGGH!!...., kembali ia mengacak rambutnya dan menutup wajahnya.Ia kembali
teringat saat pertama kali gadis itu hadir di hidupnya.Awal yang singkat. Hanya
sebatas dua orang yang sedang terjebak hujan dalam naungan sebuah halte bis.
Saling memberi komentar tentang hujan, kemudian berkenalan. Semenjak itulah ia
mengetahui bahwa gadis itu bernama Sari.Tanpa disangka, ternyata dihari
berikutnya ia dikejutkan oleh hadirnya gadis itu di kelasnya sebagai anak baru.
Anehnya hanya dia satu-satunya orang di situ yang tak memendam senyum geli
seperti semua teman-temannya. Ia malah tersenyum melihat gadis itu
memperkenalkan diri yang dibalas senyuman juga olehnya.Dan di hari-hari setelah
itu. Hanya dengan hitungan hari, namanya telah mengisi disetiap penjuru kelas.
Tak ada yang tak mengetahui namanya. Bukan karena ia cantik, tapi karena
penampilannya yang biasa-biasa saja juga karena kejeniusannya. Belum sebulan ia
menetap, namun ia telah mampu mengharumkan nama sekolah dengan 2 piala
olimpiade sekaligus yang berhasil ia sabet.Selain itu, dia juga terkenal
pendiam, baik hati dan suka menolong. Beberapa kali gadis itu terlihat olehnya
sedang membawa berpuluh-puluh buku tugas murid untuk diantarkan keruang guru.
Beberapa kali pula ia terlihat olehnya saat selesai latihan basket,gadis itu
pulang pada sore hari karena baru saja selesai membantu penjaga sekolah
membersihkan seluruh wilayah sekolah.Bila ia ditanya mengapa ia bisa menyukai
gadis itu, pasti jawaban pertama yang terlontar adalah karena senyum gadis itu
manis. Manis banget. Karena setiap kali mereka berpapasan, gadis itu pasti
selalu menyunggingkan senyum lebarnya padanya. Namun….Ia bimbang, baru tadi
pagi cewek cantik yang bertitel model itu datang padanya untuk memintanya
berbaikan lagi setelah 2 minggu yang lalu mereka putus. Padahal saat disekolah
tadi, ia hampir berhasil mengungkapkan isi hatinya pada gadis bernama Sari itu.
Tapi tangannya malah langsung ditarik paksa oleh cewek bernama Vira itu.Yang
sangat ia sayangkan dari Vira adalah bahwa gadis itu adalah bunga sekolah,
berpuluh-puluh cowok ditolaknya mentah-mentah kecuali dirinya, maka sangat
pantaslah bila ia menjadi sosok irian teman-temannya. Sangat beruntunglah ia
bila mendapatkan sanjungan-sanjungan itu.AAAGGHH!! Cowok itu
menghempaskan tubuhnya kekasur. Dilihatnya kembali foto-foto Sari yang
tergeletak begitu saja diatas seprai. Telah beberapa kali ia foto gadis itu
tanpa sepengetahuannya. Dari mulai cemberutnya sampai senyum juga tawanya yang
membuat ia ikut tersenyum-senyum sendiri saat melihatnya.Yang ia sayangkan dari
cewek berkacamata itu adalah penampilannya yang era 70-an. Wajah kusut, rambut
acak-acakan dan gaya berpakaiannya yang terkesan sangat rapi.Baiklah……, gue
udah memutuskan buat siapa cinta gue besok. Katanya tiba-tiba. Kemudian
diambilnya bantal dan guling. Ia beranjak tidur. ****Dengan langkah tegap,
ia lewati gerbang sekolah. Kemudian tesenyum pada beberapa kawannya yang ia
temui. Hari ini ia telah
membuat keputusan.
Ia harus bisa mengatakannya pada orang itu. Dicarinya sosok gadis itu disentail
kelas juga koridornya. Tiba-tiba tatapannya jatuh pada seorang gadis yang
sedang bercengkrama ria bersama sahabat-sahabatnya di pintu kelas. Dengan cepat
dihampirinya ia dan ditariknya tangan lembut itu dengan tergesa-gesa.“Diaz, lo
mau bawa gue kemana?” tanya gadis itu bingung.Tanpa menghiraukan pertanyaannya,
Diaz tetap menarik tangannya menuju lapangan basket yang ada didepan gedung sekolah
mereka. Saat ia telah sampai di tengah, dilpaskannya tangan Vira, lalu ia
berbalik menatap matanya. Diaz pun menarik nafas panjang menenangkan gemuruh
dihatinya.“gue masih suka sama lo, gue nggak rela lo jadi milik orang lain,
makanya gue pengen balikan lagi sama lo.” Akhirnya keluar juga kata-kata itu
dari mulutnya sejak tadi pagi ia persiapkan dengan matang.Vira menatap dari
balik bulu matanya dengan penuh senang. Akhirnya ia bisa juga mendengar
kata-kata itu terlontar dari cowok penggila bola dan basket yang menjadi idaman
semua cewek seantero sekolah. Cowok berbadan bidang dengan otak yang luar biasa
cemerlang. Ia nggak rela cowok itu lari dari genggamannya. Maka sangat
pantaslah saat kemarin siang ia beranikan diri untuk mengajak cowok itu kembali
bersamanya.Dengan perlahan namun pasti, ditatapnya tatapan semua teman-temannya
yang melihat iri pada mereka berdua. Kemudian dengan senyum merekah, ia
menganggukkan kepala.Melihat respon baik dari Vira, Diaz langsung memeluk gadis
itu, diikuti oleh tepuk tangan yang terdengar dari sekeliling mereka.Namun
tiba-tiba suara Soni yang cempreng berteriak. “woi…., ada mobil
limosin!!”Sontak seluruh orang menoleh kea rah dimana tunjukan cowok
itu.Seluruh murid yang ada terkagum-kagum saat mobil mewah itu berhenti tepat
dihadapan mereka, juga dihadapan Diaz dan Vira. Kemudian dari dalam, keluarlah
seorang gadis berambut panjang sebahu yang tergerai. Awalnya mereka mengira
gadis cantik itu adalah bintang film yang baru mau masuk sekolah mereka, namun
saat mereka meneliti lagi ternyata gadis itu adalah Sari. Sontak mereka semua
terkejut tidak terkecuali Diaz yang langsung melepaskan genggaman tangannya
dari Vira.“Sari?” sapanya setengah bertanya tak percaya.Gadis yang bernama Sari
itu tersenyum saat Diaz memanggil namanya. Kemudian dihampirinya cowok itu.
Sari mengulurkan tangan. Diaz pun menjabatnya.“sebelumnya maaf karena aku telah
menyukaimu selama sebulan ini. Dan aku juga ingin mengucapkan terima kasih atas
cinta yang pernah kamu ajarkan buat aku, walaupun kamu nggak pernah tau bahwa
aku jatuh cinta sama kamu saat pertama kali kita bertemu dihalte itu. Hingga
aku berbuat nekat memohon pada ayah, agar aku diizinkan untuk bersekolah
disekolah yang sama denganmu sebulan selama liburku di sekolah. Aku hanya ingin
mengenalmu. Dan ternyata dugaanku benar bahwa kamu bukan tipe orang yang hanya
melihat penampilan fisik seseorang, melainkan hatinya. Kamu nggak pernah
sekalipun tertawa saat semua orang mengejekku karena penampilan udikku.
Sebaliknya, kamu malah selalu tersenyum ramah setiap kita bertemu.” Katanya
panjang lebar.“awalnya aku berfikir bahwa dengan kecantikan, aku bisa membeli
cinta dan persahabatan. Tapi ternyata dugaanku salah. Ternyata saat aku buruk
rupapun masih ada orang yang melihat aku dengan tidak hanya sebelah mata. Dan
orang itu adalah kamu.”Sari menatap Vira yang cemberut dibelakang, memendam
kekesalannya. “tapi tenang aja, aku nggak kan mengganggu kalian lagi. Aku hanya
ingin mengucapkan kata perpisahan sebelum aku pergi ke Ausie karena liburanku
yng udah berakhir. Aku harap kalian berdua nggak akan terpisahkan lagi.”Lalu ia
menatap teman-temannya bergantian. “terima kasih ya karena kalian udah
mengajarkan ku bahwa persahabatan itu bukan dilihat dari penampilan, tetapi
dari hati.” Tatapannya kembali beralih ke Diaz. “selamat tinggal Diaz.” Katanya
sambil melepaskan genggaman tangannya.Akhirnya Sari kembali masuk ke dalam
mobil limosinnya, yang kemudian mobil itu pergi dari pelataran sekolah.Diaz
hanya diam mematung. Berusaha memahami bahwa ini semua bukan mimpi. Ia masih
diam saat Vira memanggil namanya.Dalam hati, ia kembali terngiang-ngiang akan
kata-kata Sari. Kamu bukan tipe orang yang hanya melihat penampilan fisk
seseorang, melainkan hatinya….. kamu bukan tipe orang yang hanya melihat
penampilan fisik seseorang, melainkan hatinya……Diaz menggeleng perlahan. Kamu
salah Sari… kamu salah….Kemudian dunia berputar disekelilingnya. Lalu gelap.Hal
yang terakhir ia dengar hanyalah suara jeritan Vira yang memanggil-manggil
namanya.
Penggemar
Rahasia
Indahnya rembulan tak seindah senyummu
Putihnya awan tak seputih kulitmu
Dikala kau tersenyum ….
Dunia pun bagai dibawah bibirmu
Bibir Sasa manyun 3 cm setelah membaca puisi yang
tergeletak diatas mejanya.
“Surat dari penggemar lo lag Sa?” Suara Vina
mengagetkan Sasa yang lagi bingung mendangiri itu puisi.
“Ya iyalah ….! Siapa lagi ? Gowe jadi enak liatin
isi puisi. Coba dech loe baca” Sasa menyodorkan selembar kertas pink plus
amplop berbentuk kah kepada Vina. Kontan saja Vina langsung tersenyum sendiri
membaca puisi itu.
“Lucu juga ne cowo! Klo ga salah ne udah yang ke
143 kan? Gile juga ne cowo”. Hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kenapa go loe selidikin adz ne cowo, ato loe
gebet aze, siapa tau cakep he he he”.
“Tau ah! ga penting banget tau ga! Aku ga peduli
yang gowe peduliin tu cuman ka Erick, yang lain NO WAY” Tangan Sasa bergerak
kya polisi lagi ngatur jalan. Vina cuman cekikikan ngeliat gaya Sasa yang ga
jelas itu.
*******
“Kri…..ng” Bel istirahat sudah berbunyi. Kya
orang di kejar hansip Sasa buru-buru keluar kelas. Tapi baru sampe didepan
pintu kelas ia menepuk jidadnya dan berlari-lari kembali lagi. Bahwa mengambil
arsip-arsip OSIS yang ketinggalan ditasnya. Tak lupa pula ia membetulkan
dandanannya. Vina sampe bingung dibuatnya. Tapi dia maklum ada melihat orang
yang gi kena panah cinta itu. Apapun bakalan dilakuin coy….!
“Selang beberapa detik kemudian si Ketua OSIS
yang cakep abis itu sudah muncul didepan kelas X1. Muka Sasa langsung berubah
merah padam.
“Ne kak surat undangannya” Jangan sasa gemeteran.
Vanya jadi ikutan gugup ngeliatnya. Ya….. takut-takut klo Sasa ngelakuin
hal-hal yang memalukan kya kemarin. Sempet-sempetnya dia pake acara kepeleset
segala gara-gara gugup ketemu Erick.
“Oh makasih! Kamu baek baget sudah ngerjain ini
semua. Padahal inikan tugas aku”.
“Oh ga pa-pa kok, aku seneng, lagian kakakku
jangan baru pulang dari olimpiade. Masuk di Australi, jadi kakak pasti sibu
banget”.
“Sebagai imbalannya gimana klo sekarang kamu aku
terakhir makan dikantin sekolah”, Erick mengelus rambut Sasa yang panjang
terurai.
Tentu saja kesempatan besar dan langka ini ga
bakalan Sasa sia-siakan. Apalagi mengingat Erick yang sudah kelas 3 dan bakalan
lulus. Mana menurut kabar Erick sudah dapat beasiswa buat kuliah di Oxport University,
jurusan kedokteran lagi.
*******
Setiap malam ku termenung memikirkanmu
Tiap detik tanpamu semakin menyakitiku
Kupersembahkan mawar ini untukmu
Agar kau selalu teringat padaku.
Kali ini Sasa benar-benar pusing dibuatnya “ya
ampun, kenapa jadi pake bunga-bunga segala sech, gowe buang aja dech”.
Ucap Sasa sambil memegang setangkai mawah merah
yang ya…… sebenarnya bagus sech. Buru-buru Vina yang kebetulan baru datang
langsung memegang tangan Sasa.
“Eit ! Jangan donk! Kan bunganya bagus, lagian
kita itu kudu ngormatin orang yang udah nyayangin kita. Kan masih untung ada
orang yang mau sayang ama kita, Emank sech loe to dah banyak penggemarnya tapi
hormatin dong penggemar loe”.
“Iye…..iye!, ibu ustadzah! Nech buat loe aja
dech”.
“Jangan donk! kan loe yang dikasih, Eh tapi
ngomong-ngomong gowe penasaran banget ama ne cowo. Kira can tau yuk !”. Aja
Vina bersemangat.
“Ga ah! buang-buang waktu aja, loa sendiri tau
kan klo gowe tuch sayang banget ama ka Erick, makanya gw bela-belain masuk SMA
NUSANTARA ini buat ngeliatin dia. Sejak SD gwe dah suka banget ma dia, dia
cinta pertama gwe”.
“Iya gwe tau! Tapi apa loe ga penasaran ma ne
cowo! Ngebetnya setengah mampus ama loe! Kita ga bakal ngapa-ngapain kok, gwe
janji ! Gt cman nyari tau abes itu udah….!” Mulut Vina komat-kamit dari tadi
kaya dukun. Sasa diam sejenak dan mencoba mempertimbangkan saran Vina lalu dia
mengangguk.
“Ok dech! Gowe penasaran juga sech, tapi gimana
caranya?”
“Loe nanya gowe? Manaketehe, loe pikiran dech
ntar gowe bantu doa”.
“Huh, Dasar loe!” Sasa memencet hidung Vina”.
“Gini aja, gimana klo kita balik ke sekolah ntar
sore, nah kita liat dech siapa kaka kelas yang duduk di bangku gowe ini, Sapa
tau dia salah satu anak kelas 3 yang masuk sore, gimana!”.
“Ok dech, pintar juga loe!” Vina mengacungkan
kedua jempolnya.
*******
Sore pun menjelang. Sekolah masih terlihat ramai
oleh anak-anak kelas 3 yang memang masuk sore. Sasa dan Vina tampak resah
menunggu didalam mobil. Karena ga tahan lagi akhirnya Vina keluar mobil. Sasa
yang bingung melihat sikap Vina yang seperti orang mati penasaran jangan
ikut-ikutan keluar.
“Vin ! tungguin gw donk” Sasa buru-buru mengejar
Vina tapi Vina terus saja berlari. Walaupun sudah berkali-kali dipanggil tapi
Vina tak peduli. Dengan heran Sasa terus mengejar Vina. Akhirnya dengan
bersusah payah tangan Vina bisa dia tarik saat didepan WC siswa.
“Loe ngapain ikut-ikutan gowe”, Vina heran.
“Loe juga kenapa ninggalin gowe, gara-gara ngebet
pengen liat tu cowo sendiriankan! Tuh dasar loe pelit” Mulut Sasa yang mungil
manyun.
“Gowe kebelet pipis makanya gowe lari kan, AWAS
jangan ngalahgin gw, loe mau gw kencing disini” ucap Vina pusing.
“O….Sorry…” Sasa jadi malu sendiri……
Sudah hampir satu jam mereka mengelilingi sekolah
tapi tidak ada tanda-tanda atau gelagat-gelagat menanyakan dari cowo-cowo
disana. Dan betapa kecewanya mereka karena ternyata yang duduk dibangku Sasa
adalah seorang cewe.
Mereka mencoba menanyakan apakah ia pernah
melihat cowo meletakkan surat di meja itu tapi cuman gelengan kepala yang
mereka dapat. “Gowe disini ampe jam 08.00 malam, tapi ga ada tuch” ucapnya
sambil mengerdipkan mata ke Vina. Baru-baru mereka menjauhi cewe tadi. Akhirnya
dengan langkah gontai Sasa dan Vina berjalan keluar dari gerbang sekolah. Vina
langsung ngeri sendiri ngeliatnya.
“Eh Sa! apa mungkin cowo itu ngelekatin
surat-surat buat loe pas pagi buka kali ya! Vina mencoba menebak.
“Kyanya ga mungkin dech, gw dah sering nyoba
datang ke skul subuh-subuh tapi ne surat dah ada duluan”.
“Apa ? katanya lo ga peduli, tapi nyatanya lo nyantau
juga ya ya dari dulu.., hu dasar loe” Vina mencubit pipi Sasa yang anti
jerawat. Sasa cuman cekikikan, malu…..
“Atau jangan-jangan cewe lesbi tadi yang girim
surat ke loe ! Tambah Vina.
“Hi……” Mereka berdua begidik. Terus berlarian ke
mobil.
Tapi langkah mereka terhenti ketika sampai di
parkiran sesosok cewe cantik, tinggi bersama teman-temannya sudah berdiri
disamping mobil. Sasa dan Vina saling menatap sejenak. Mereka agak heran dengan
gelagat para cewe ini yang sepertinya kurang bersahabat.
“Heh! Loe kan yang namanya Sasa!”
Cewe itu menantang. Dia agak takut Sasa
mengangguk. Tiba-tiba tangan cewe itu sudah memegang wajah sasa dengan kasar.
Vina tidak bisa menolong karena teman-teman satu
gengnya dah duluan mencegat dia.
“Eh cewe kegatelan” Ucapnya kasar” gw bilangin ya
ama loe, nama gw Karina, Pacar Erick ! Gw dengar loe dekat ama dia. Eh! loe
jangan sok kegatelan dech pake acara ngerayu pacar orang segala lagi. Baru juga
anak ingusan/ kelas 1 udah berani macem-macem ama ka kelas ! Ingat ya ! Sekali
lagi gw dengar / liat toe nemuin Erick, gw bakalan bikin hidup loe menderita !
Ngerti loe !
Setelah puas memaki-maki Sasa mereka memasuki
mobil Honda Jass biru lalu melesat kencang. Tak lupa pula mereka melambaikan
tangan pada Sasa.
Tanpa sadar Sasa sudah meneteskan air mata.
Segera Vina memeluk Sasa yang terlihat sangat syok dan terpukul.
“Gw ga nyangka ternyata ka Erick bohong ama gw,
dia bilang ga punya pacar, dia bilang belum mau pacaran, katanya dia mau
sekolah dulu, katanya….” Belum sempat ia meneruskan ucapannya air matanya sudah
tumpah di pelukan.
Vina. Vina tidak bisa berkata apa-apa. Dia
sendiri jangan terkejut dengan kejadian tadi. Dengan perlahan dia mengajak Sasa
pulang.
3 hari sudah berlalu sejak kejadian itu. Tapi
sampai sekarang Sasa belum menunjukkan batang hidungnya di sekolah. Vina sangat
khawatir. Apalagi saat ditelpon Sasa selalu tidak mau menjawab. Dan seperti
biasanya surat dari penggemarnya itu terus saja datang. Vina hanya bisa
menggelengkan kepala melihat kelakuan sahabatnya ini. Sedangkan Erik sendiri
terlihat kebingungan buat mengurus arsip-arsip OSIS karena kebetulan Sasa itu
sekretarisnya.
“Eh Vin! Sasa ga masuk ya ?” Tanya Erick yang
kebetulan datang ke sekolah entah untuk urusan apa. Dengan cuek Vina lewat saja
didepannya. Erick yang bingung dengan perubahan sikap Vina ini buru-buru
mengejarnya. Vin ! kamu denger ga sech?” Panggilnya sekali lagi. Tapi Vina
tetap ga peduli. Erick segera menarik lengannya. Akhirnya dengan segolan 3
piring bakso, 2 es jeruk dan soft drink lainnya Vina mau menceritakan yang
sebenarnya.
“Kaka mau tau kenapa Sasa ga masuk” Ucapnya marah
“ itu soree gara-gara pacar-pacar ka-ka yang bernama K-A-R-I-N-A itu. Dia
ngancam Sasa habis-habisan belum lagi ucapannya yang kasar, sampai bawa-bawa
golok segala lagi” Panjang lebar Vina menceritakan kekesalahannya. Entah itu
disertai dengan bumbu-bumbu yang dilebih-lebihkan. Dia sendiri saking keselnya
ga sadar dengan tambahan ceritanya yang mengatakan bahwa Sasa ditampar,
ditendang, terus dicubit-cubit.
“Sudahkan! Klo gitu gw ke kelas dulu. Cape gw
ngomong ucap Vina yang cuek aja tanpa perasaan bersalah menghabiskan seluruh
isi kantin. Erick sendiri terlihat sangat marah dan kesal dengan kejadian itu.
Ia pun buru-buru pergi, Vina aman mengangkat bahu.
*******
Wajah Vina menjadi cerah karena keesokan harinya
Sasa sudah masuk sekolah.
“Akhirnya…….! Loe masuk juga” Vina merangkul
Sasa.
“Gimana? Sekarang lo dah roda-roda baikan?”
Tambahnya.
Sasa mengangguk pelan. “Lumayan …..! Dan sekarang
gw dah mutusin buat ngelupain ka Erick yang pembohong itu”.
“Nah gt donk! Itu baru namanya sahabat gw!, BTW
tuch surat dari penggemar loe dah numpuk, buka donk, gw mau liat isinya. End
kadonya dibuka juga ya”. Tanpa pikir panjang Sasa membuka semua surat-surat itu
sambil tersenyum dia menunjukkan surat yang terakhir pada Vina.
“Dia ngajak ketemuan ?” Tanya Vina terkejut.
“Iya ! heh akhirnya dia mau nunjukin sosok
aslinya juga”.
“Iya Sa ! lebih baik kamu temuin aja dia, lebih
baik loe buka hati loe buat orang yang tulus sayang ama loe, ga kya Erick yang
gombal itu” Wajah Vina berubah serem kya mak lampir. Sasa jadi takut
ngeliatnya. “Eh coba liat kadonya” Sasa antusias.
“Ini kan sweater yang dari luar negeri itu. Loe
aja ga dikasih oleh-oleh apa-apa sama ka Erick waktu dia pulang dari Australia”.
Sasa aman bisa manyun.
“Akan gw coba buat ngebuka hati gw buat cowo
laen. Walaupun jujur, hati gw masih punya dia”.
*******
Sepulang sekolah Sasa dan Vina datang ke kafe
yang sudah dijanjikan. Mereka segera menuju meja dipojok bernomor 5 yang memang
sudah dipesan.
Betapa terkejutnya Sasa saat melihat sosok pria
tampan yang berdiri dihadapannya. Cowo yang selama ini mengirim surat
kepadanya, yang setia mengirimnya puisi, yang tulus menyayanginya ternyata “Ka
Erick?” Ucap Sasa terbata-bata. Nafasnya seakan-akan terasa terhenti. Ada
perasaan bahagia dibenaknya karena ternyata ceritanya tak bertepuk sebelah
tangan. Tapi perasaan itu baru-baru ditepisnya. Ingatannya kembali melayang ke
kejadian yang menyakitkan itu. Tanpa pikir panjang Sasa melangkah pergi. Namun
buru-buru Erik menarik tangannya.
“Sa ! dengarkan aku dulu !” Ucap Erick. Tapi ia
malah menangis sambil mencoba melepaskan pegangan Erick”. Lepasin ! Ka-ka itu
pembohong”. Jangan ganggu aku, lebih baik urus pacar kaka sendiri”. Tapi enak
malah memeluknya. Sasa mencoba berontak.
“Walaupun akhirnya ia mulai bisa tenang.
“Dengarkan aku! Karena bukan pacar aku, ia aja
yang ngaku-ngakunya begitu. Tapi kamu tenang aja dia sudah aku peringatkan
untuk tidak menyentuh sehelai rambut mu pun, klo ga percaya tanya aja sama
temen-temen ku”.
“Aku ga percaya” Emank ka-ka ngancam apa”.
“Beneran! Aku peringatin dia agar jangan
mengganggu kamu lagi. Klo ga dia bakalan nyesel dan perusahaan bapaknya yang
selalu dibantu dana dari ayahku bakalan hancur. Karena ia sudah berani
mengganggu cewe aku”.
Wajah Sasa jadi merah padam.
“Siapa juga yang mau jadi cewe ka-ka!” Ucapnya
malu.
“Lagian kok pake bawa bokap segala sech”.
“Ya…..itu terpaksa. Karina itu paling takut
miskin jadi hanya itu satu-satunya cara biar cewe ku ga dia ganggu”.
“Siapa bilang aku mau”.
“Benarkah! Klo gitu….maukah tuan putri ini
menjadi kekasihku”. Erick berlutut sambil menyerahkan setangkai bunga lili,
kesukaan Sasa. Dengan wajah yang masih merah padam Sasa mengangguk.
Mereka saling bertatapan. Mereka tidak
memerdulikan lagi Vina dan seluruh pengunjung kafe yang kebenaran melihat cinta
pada anak muda ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar